Terkadang...
saat sunyi tak lega menghasilkan
dia hanya mampu mengalun perlahan.
Sore belum beranjak petang. Burung-burung pun belum kembali dari pertarungannya. Belum apa-apa aku sudah merasa kesepian.
Seperti sudah kaupahami, sulit bagiku untuk pergi terlebih dahulu. Jika ditinggalkan, aku masih punya harapan dia akan menengok ke belakang. Namun saat aku yang jauh di depan, aku tak tahu bagaimana caraku melihatnya kembali.
Terkadang...
saat dingin menusuk tajam
helai pelindung justru tanpa bimbang ditanggalkan.
Dahulu, aku pernah bertemu seseorang yang sangat berharga. Tak pernah kubayangkan sebelumnya. Padahal saat itu situasiku tak terlalu buruk. Masih ada angin yang bertugas menyebarkan serbuk-serbuk sari dari padang bunga. Meski tetap sulit buatku, aku bisa mengatasinya sendiri. Akan tetapi, wajah itu datang tanpa pamrih. Wajah itu datang dengan kelembutannya hingga mampu meluluhkanku selama berdetik-detik yang kian lambat berdetak. Sangat sedikit waktu yang menghampiri kami, tak sekalipun tidak berharga.
Terlalu dalam hingga kupikir dialah sempurna yang kuinginkan, dialah indah yang kumimpikan.
Ah.... mengapa aku mengenangnya? Bukan dia tokoh dalam kisah ini. Akulah tokoh utama di sini. Akulah remah yang akan mengisi sudut memori....ah.....bukan dalam kepalanya, dalam kepalaku!
Tanpa mau disadari
Kau lemah dan sendiri
Bukan hal yang salah jika aku mencoba sesuatu yang baru. Tuhan menciptakanku untuk hidup di mana saja. Dataran tinggi maupun dataran rendah tak pernah jadi masalah. Aku bisa bersantai dalam latar belakang deburan ombak yang bersahabat. Di sana aku menjulang bahagia memperhatikan arus yang membawa calon tunasku ke tepi yang baru. Di sanalah nanti keturunanku akan tumbuh—sebuah pohon kelapa yang baru. Atau aku bisa menjalani hidup dalam perkebunan yang rapi teratur. Mereka meladeniku setiap saat, berharap aku akan memberikan yang terbaik. Tentu aku tak kesepian. Aku juga tak bosan karena aku hidup berdampingan dengan seribu kawan dengan visi yang sama. Masa depan jangan ditanya. Mereka pasti memilihkan bibit-bibit bagus yang kelak menggantikan kami. Persaingan mungkin terjadi, tapi bukanlah sesuatu yang buruk.
Namun saat aku mencoba hidup di antara pohon pinus, itu benar-benar hal yang berbeda. Aku harus memikirkan hidupku sendiri. Jika tidak, aku tak akan pernah bertahan.
Kau benar
Mereka tak berdaun sepertimu.
Mereka tak bertunas sepertimu.
Siapakah yang bersedia menghantarkan harapanmu?
Aku sepakat bahwa berbeda itu berwarna. Tapi sadarkah kau bahwa yang berwarna itu tak selalu indah? Mereka sangat baik—pohon-pohon pinus itu. Aku menyukainya. Tapi mereka berbeda, aku tak memahaminya. Tak satupun memahamiku. Aku sendiri. Sendiri dan lemah.
Karena itu kemudian kau mengingatnya? Seseorang yang menemani dan mengurungkan bebanmu?
Ya aku mengingatnya. Saat itu aku kesulitan dan harus bertahan. Jika tidak, aku punah. Angin tak cukup kencang untuk membawa bagian diriku yang bertunas. Tepat saat aku memutuskan untuk berjalan sendiri, dia menawarkan dirinya. Tentu tak terkira girangnya aku kala itu, hingga tak mampu berpikir selain berayun-ayun merdu mengikuti irama alam.
Aku tak pernah memikirkannya dan kini aku bertanya-tanya untuk apa gerangan Tuhan mengirimkan dia ke hadapanku. Ataukah mungkin dia terlalu baik dan karenanya ia datang tanpa utusan siapa-siapa. Padahal saat itu aku masih bisa mengatasinya sendiri. Tak peduli seberapa berat aku harus berusaha, setidaknya aku tidak takut. Tapi sekarang? Tak hanya berat yang harus kuhadapi. Aku juga takut. Takut.
Mungkin aku hanyalah makhluk irasional yang mengharap pada orang-orang. Pada akhirnya, aku melewatinya sendiri. Selalu seperti itu. Tak ada yang bisa dipercaya. Kau hanya boleh mengandalkan dirimu sendiri. S-e-n-d-i-r-i. Kata orang sendiri tak ada arti. Tapi manakah yang lebih lemah, bertahan sendiri tanpa mampu menyapa atau tak mampu berdiri tapi sanggup mencari bantuan?
Kudengar helaan nafas keputusasaan tak jauh dari tempatku bersembunyi. Tampak ketakutan, tapi begitu kuat untuk melawan apapun seorang diri.
“Orang-orang baik diturunkan hanya untuk mengujimu. Tak ada yang bisa kauandalkan selain dirimu sendiri.” begitu kira-kira maksud tatapannya.
“Benar tak boleh kuberharap selain kepadaNya. Tapi tak mungkin Dia menjatuhkan makanan dengan indah saat kau kelaparan, bukan? Itu hanya mukjizat nabi sedang kau hanya seonggok batang tak berdaya.”
Tuhan mengirimkan kebaikannya lewat orang-orang. Coba buka matamu! Kucoba mendengarkan nyawa-nyawa di sekitarku apakah yang mereka katakan.
“Kau akan berjalan sendiri, kau yakin?”
Perhatian atau kasihan. Sebegitu memprihatinkankah?
“Adakah yang bisa menemaninya?”
Ada sedikit harapan.
Satu detik. Dua detik.
Sunyi. Aku pergi mendahului. Aku tak tahu bagaimana cara menengok kembali. Yang kutahu pasti, aku tak boleh berharap pada manusia. Sekalipun ketakutan merayapi, aku takkan mampu mengandalkan mereka. Tamat.
[22 Agustus 2015 ]
Komentar
Posting Komentar