Semalam,
aku tertidur di awan kelabu. Aku terus berpikir bagaimana jika aku
terjatuh padahal aku ingin melihat pelangi. Lalu degup jantungku
mengatakan sesuatu. “Tenang gadisku. Kalau kau terjatuh, kau akan
terjatuh bersama-sama.” Benar juga. Sama sekali tak masalah buatku. Tapi
aku takut. Bagaimana jika aku terjatuh sebelum sempat menyentuhnya?
Bagaimana?
Kabut perlahan menipis. Kilau perlahan
bercahaya. Apakah ini serangan fajar? Namun warna merah jambu belum
memudar. Aku benar-benar tak tahu yang akan terjadi. Aku tak mampu
berangan-angan lagi. Tapi kabut perlahan menipis. Aku harus segera
bergerak kecuali ingin dihempas angin jahat. Aku mencoba mencari celah.
Di
bawah sana, bukan sosok itu yang kulihat. Aku berkeliling mencarinya.
Tak kutemukan bayangnya. Berseru dalam kebisuanku, aku memanggilnya.
Hening. Tak ada jawaban. Yang ada hanya burung-burung yang berkicau di
atas tanah lapang. Tanah lapang? Oh, tunggu! Bukankah seharusnya aku ada
di sana?
Aku mencoba berdiri, terjun ke tanah lapang
itu. Apa daya, jiwa ini sudah terlalu rapuh untuk tak bergeming. Rapuh
seperti pijakan yang sebentar lagi akan menguap bersama matahari ini.
Segera
setelah itu, sebuah kekuatan sepertinya datang. Teriakan ini mulai
berserak. Kanvas kosong sudah di genggaman. Aku melewati burung-burung
yang berkicau dan tak tahu yang akan terjadi. Satu hal, jantungku tak
berdegup lagi. Aku telah mati. Hari ini.
Aku berbalut kerindangan pagi.
Ada
lega yang menyusuk ke dalam ruang hati. Aku belum sampai pada
pendaratanku dan karenanya aku sangat bersyukur. Di tanah lapang
itu teriakan-teriakan mereka membusuk. Membusuk dalam hati dan pikiran
mereka sendiri. Mereka tertembak mati. Kupikir burung-burung tadi adalah
pelakunya. Ternyata aku salah. Mereka tak melakukan apa-apa.
Dan dalam hamparan kabut merah jambu, aku berbalut pagi. Mereka tetap tertembak mati. (2 Mei 2014)
Komentar
Posting Komentar