Langsung ke konten utama

Jernih dan Hitam antara Kabut dan Merah Jambu #2-tamat

Semalam, aku tertidur di awan kelabu. Aku terus berpikir bagaimana jika aku terjatuh padahal aku ingin melihat pelangi. Lalu degup jantungku mengatakan sesuatu. “Tenang gadisku. Kalau kau terjatuh, kau akan terjatuh bersama-sama.”  Benar juga. Sama sekali tak masalah buatku. Tapi aku takut. Bagaimana jika aku terjatuh sebelum sempat menyentuhnya? Bagaimana?

Kabut perlahan menipis. Kilau perlahan bercahaya. Apakah ini serangan fajar? Namun warna merah jambu belum memudar. Aku benar-benar tak tahu yang akan terjadi. Aku tak mampu berangan-angan lagi. Tapi kabut perlahan menipis. Aku harus segera bergerak kecuali ingin dihempas angin jahat. Aku mencoba mencari celah.

Di bawah sana, bukan sosok itu yang kulihat. Aku berkeliling mencarinya. Tak kutemukan bayangnya. Berseru dalam kebisuanku, aku memanggilnya. Hening. Tak ada jawaban. Yang ada hanya burung-burung yang berkicau di atas tanah lapang. Tanah lapang? Oh, tunggu! Bukankah seharusnya aku ada di sana?

Aku mencoba berdiri, terjun ke tanah lapang itu. Apa daya, jiwa ini sudah terlalu rapuh untuk tak bergeming. Rapuh seperti pijakan yang sebentar lagi akan menguap bersama matahari ini.

Segera setelah itu, sebuah kekuatan sepertinya datang. Teriakan ini mulai berserak. Kanvas kosong sudah di genggaman. Aku melewati burung-burung yang berkicau dan tak tahu yang akan terjadi. Satu hal, jantungku tak berdegup lagi. Aku telah mati. Hari ini.

Aku berbalut kerindangan pagi.

Ada lega yang menyusuk ke dalam ruang hati. Aku belum sampai pada pendaratanku dan karenanya aku sangat bersyukur. Di tanah lapang itu teriakan-teriakan mereka membusuk. Membusuk dalam hati dan pikiran mereka sendiri. Mereka tertembak mati. Kupikir burung-burung tadi adalah pelakunya. Ternyata aku salah. Mereka tak melakukan apa-apa.

Dan dalam hamparan kabut merah jambu, aku berbalut pagi. Mereka tetap tertembak mati. (2 Mei 2014)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bonek Hikers. Part 4: Akhir Cerita Kita

The most favourite spot. Couldn't find a more beautiful yellow flowery field.... Setelah pikiran yang blingsatan ke mana-mana. Setelah keresahan yang mengubun-ubun. Selepas keputusasaan yang nyaris memuncak. PADANG SAVANA....... " Subhanallah......" "Allahu Akbar!" Kami semua jatuh terduduk. Sungguh luar biasa. Rasanya seperti surgaaaaa. Sekitar satu jam sebelum tengah malam kami sampai di padang luas tempat bermalam. Kami duduk sejenak, ingin bergulung-gulung di sana. Di padang inilah para pendaki biasa bermalam. Untuk menuju puncak, perjalanan hanya tinggal satu jam lagi. "Ayo semangat. Tambah sedikit lagi jalannya, kita mendekat ke tenda-tenda lain."  kami pun beranjak. Para calon tetangga membantu mendirikan tenda. Tanpa mengkhawatirkan makan malam, kami langsung menata diri untuk shalat dan beristirahat. Say Hi! Coming back home "Yang mau muncak ntar bangun jam tiga yaaa..."  beberapa memili...

Pantai Kondang Merak

Curly surface from top of a hill Hampir genap setahun, kunjunganku ke Pantai Kondang Merak juga kulakukan pada tahun 2017, tepatnya pada tanggal 8 Maret (cuma postingan ini nih yang tanggalnya tercatat). Aku mengunjungi pantai—yang saat itu sedang sepi—dalam rangka menemani seorang 'kawan dekat' survei lapangan untuk penelitian tugas akhirnya. Nggak tau sih, beneran survei apa modus pengen ngajak jalan-jalan, wkwkwkwk . Great Barrier Reef ala Kondang Merak Berhubung bukan hari libur, pantai sangat sepi, bahkan hampir tidak ada pengunjung yang datang dalam waktu bersamaan. Untuk menuju Kondang Merak, kami tinggal mengikuti jalan ke arah Balekambang, lalu berpisah di sebuah perempatan. Keluar dari jalan raya, medan yang harus dilewati terhitung cukup sulit. Tanjakan-tanjakan berupa tanah berbatu mudah saja membuat pengendara sepeda motor kehilangan keseimbangan. Menurut wikipedia, saat kondisi jalan normal pengunjung bisa menempuh perjalanan dari perempatan ...