"The mathematician does not study pure mathematics because it is useful, he studies it because he delights in it and he delights in it because it is beautiful." ~ Georg Cantor
Salam persekutuan! Satu ini saja pengalamanku yang tercacat dalam dunia perolimpiadean. Seperti kata Mister Cantor, matematikawan menggeluti matematika bukan karena berguna, melainkan karena dia cantik dan menyenangkan. Bagaimana tidak menyenangkan, olimpiade yang kuikuti di tahun terakhirku berkuliah membawaku jalan-jalan keliling Yogya selama tiga hari. Jalan-jalan ini bukan dalam rangka menang lho, tapi karena memang masuk dalam rangkaian acara olimpiade. Asyik gak tuh?!
Pada acara pembukaan, peserta disambut dengan tarian tradisonal |
Gala Dinner di Hotel Sahid Raya |
Setiap tahun, Dinas Pendidikan dan Olahraga (Dikpora) Daerah Istimewa Yogyakarta menyelenggarakan Olimpiade Sains Nasional (OSN) tingkat Perguruan Tinggi. Tahun 2016 ini, olimpiade dilaksanakan di Universitas Mercu Buana. Tak hanya matematika, saudara-saudara kandungnya yaitu fisika, kimia, dan biologi turut diolimpiadekan pula. Sayangnya, (juga untungnya) dari Universitas Brawijaya hanya tim matematika saja yang berangkat. (Kenapa untung? Itung-itung kuota peserta bidang matematika boleh diperbanyak, menggantikan kuota bidang lannya)
Olimpiade yang sesungguhnya hanya berlangsung satu hari. Sisanya, peserta diajak melakukan kunjungan budaya, mulai dari Candi Borobudur, Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, hingga Museum Soeharto.
Candi Borobudur
Siapa saja pasti mengenal keajaiban dunia milik Nusantara berikut. Banyak situs, buku, maupun artikel yang mengulas candi megah yang berdiri di Kabupaten Magelang ini. (Jadi maksudya, nggak perlu saya ceritakan lagi ya. Banyak ulasan lain yang jauh lebih lengkap). Meski telah ada ribuan buku terbitan Indonesia, buku pertama yang memperkenalkan Borobudur justru ditulis oleh orang Inggris, yaitu Sir Thomas Stamford Raffles yang kala itu menjabat sebagai Gubernur-Letnan Hindia Belanda. Dalam bukunya yang berjudul "Sejarah Pulau Jawa" inilah istilah Borobudur pertama kali ditemukan.
"the gank" |
salah satu sudut candi borobudur |
Berfoto bersama tim rival: Universitas Negeri Malang |
Di balik keajaiban proses pembangunannya yang memakan waktu seratusan tahun, ternyata candi Buddha ini juga pernah telantar. Selama berabad-abad, Borobudur terkubur di bawah lapisan tanah dan debu vulkanik akibat meletusnya Gunung Merapi.
"Stupa" |
Menang gak menang yang penting spiriiit |
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat
Menginjakkan kaki di lingkungan keraton memciptakan suasana berbeda bagiku. Dibanding kunjungan wisata, kunjungan ini lebih terasa seperti mengunjungi nusantara pada masa lampau. Dari parkiran bus, pengunjung diantarkan dengan mobil-mobil wisata menuju wijayah keraton. Memasuki gerbang utama, kami disambut oleh seorang bapak pemandu yang mengenakan kostum jawa, lengkap dengan tuturan berbahasa jawa halus. Di sini, segala aturan, tutur kata, tingkah laku, dan tata kehidupan sehari-hari masih menganut budaya kesultanan jawa.
Bagian depan keraton |
Salah satu penjaga keraton |
Meskipun Negara Indonesia sudah tidak menganut sistem pemerintahan berbentuk kerajaan lagi, Yogyakarta masih kental dengan kebudayaan keraton dan kesultanannya. Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat inilah wujudnya. Istana yang dikenal juga dengan sebutan "Keraton Yogyakarta" didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I pada tahun 1755.
Salah satu ruangan dalam keraton |
Makan siang di keraton |
Selain bangunan istana, di dalam keraton ini juga terdapat pendopo untuk pagelaran yang ditampilkan pada waktu-waktu tertentu. Sayangnya, tidak ada pagelaran yang digelar saat kami berkunjung. Hanya alunan musik gamelan yang menemani siang semilir kami.
Museum Soeharto
Kunjungan terakhir yang kami tuju adalah Museum Soeharto. Siapa sih yang tida mengenal tokoh bersejarah ini? Generasi tua maupun muda Indonesia pasti mengenal sosoknya, walau beberapa hanya tahu namanya saja.
Monumen Soeharto |
Serba-serbi
Di samping berwisata, peserta OSN juga dimanjakan dengan makan dan penginapan di hotel berbintang 4. (wowww *_*) Sebagai mahasiswa, tentu kebanyakan peserta memiliki pola makan beruang. Sehari-hari jarang makan, sekalinya ada makan (gratisan) langsung rakus. Tak peduli gender, timku pun tanpa malu berubah rakus. Selain porsi makan yang disantap di tempat, kami juga tak segan mengantongi salak, jeruk, apel, kelengkeng, bahkan donat dan apapun sebanyak yang bisa dikantongi. Tak tanggung-tanggung, setiap jadwal makan beberapa dari kami pasti mengenakan jas (dengan kantong jumbo) dan membawa tas kecil. Lumayan, sepanjang perjalanan kembali ke Malang kami bisa menyantap buah-buahan hasil jarahan tanpa membeli makanan lagi. :D
Soal Olimpiade Nonterapan |
Bukan hanya aksi penjarahan yang membuatku geleng-geleng kepala. Sebagai calon saintis yang biasanya memang konyol akibat kebanyakan belajar, kami juga mengalami tragedi-tragedi lain yang membangun gelak tawa. Terutama tragediku sendiri sih. Belajar dari pengalaman, aku tidak membawa jas almamater karena ranselku penuh, Padahal, panitia sudah meminta peserta untuk membawa almamater masing-masing. Di hampir semua kegiatan lain, aku termasuk mahasiswa yang rajin membawa dan mengenakan almamater. Seneng aja pakai jas, meski nggak bangga-bangga banget. Namun, kebanyakan momen menyia-nyiakan ke-rajin-anku itu. Seringkali jas yang kubawa tidak terpakai sama sekali. Karena itu, kali ini aku santai saja tanpa almamater dalam tas. Well, jadi ceritanya aku kapok.
Soal Olimpiade Terapan |
Ternyata, dari hari pertama sampai terakhir, jas almamater ini selalu digunakan. Malam pertama saat pembukaan dan gala dinner, semua peserta wajib mengenakan jas universitas masing-masing. Ada sih yang gapake jas, tapi mereka dosen pendamping. Sempat terpikir untuk duduk di deretan pendamping, tapi kikuk juga, gimana kalau diajak ngobrol sama dosen yang lain. Setelah memikirkan solusi lain, jadilah aku meminjam jas sepupuku yang alhamdulillahnya kuliah di Akademi Farmasi Indonesia, Yogyakarta, tak terlalu jauh dari hotel tempatku menginap. Dengan terburu-buru, dia mengantarkan jasnya—yang berbeda warna dengan jas UB—tepat sebelum acara pembukaan dimulai. Jadilah aku seorang anomali.... -_-
Nggak jalan-jalan? Udaaaah... yang penting ada jejak rekam |
Malam kedua, tak ada agenda apapun dari panitia. Teman-teman menyempatkan diri berkunjung ke malioboro. Aku sendiri mencuri kesempatan untuk mengunjungi Kakak sepupuku dengan diantar oleh adik sepupu yang meminjamiku jas tadi. Kebetulan, keponakanku berulang tahun. Jadilah kami beramai-ramai merayakan ulang tahunnya. Lalu bagaimana kabar kawan-kawanku di malioboro? Aku tak jadi menyusul mereka karena sudah larut. Ternyata, mereka pun hanya sempat berfoto di bawah papan nama jalan. Nggak jalan-jalan? Nggak nongkrong? Tidak. Mereka mengejar bus TransJogja yang hanya beroperasi hingga pukul sepuluh malam. Karena tak mau membayar lebih untuk ongkos taksi, mereka memilih segera pulang dan membayar kekecewaan dengan nongkrong di warung sebelah hotel. He...he....he..... Untung gak jadi nyusul.
Ulang tahun keponakan kecilku |
Olimpiade?
Dan bagaimanakah akhir dari perjuangan olimpiade ini? Tak satupun dari kami meraih juara. Mayoritas juaranya diborong oleh Universitas Gadjah Mada. Selain karena SDMnya memang top, putra daerah sendiri juga telah melalui olimpiade regional sebelumnya. Akhir kisah, pulanglah kami tanpa rasa sesal.
Kalah? Enjoy aja kaliii. Yang penting dapet uang saku kaaaan. Itung-itung buat transport udah bisa balik modal |
Komentar
Posting Komentar