Masih 19 Maret 2018....
Belum beranjak dari War Remnant Museum, aku menyelesaikan penjelajahanku ke setiap sudut ruangan. Yang kucari sebenarnya adalah bagian penjara. Aku hampir putus asa ketika semua lantai telah terjamah dan belum sampai juga di replika penjaranya. Jangan-jangan sudah ditutup karena terlalu seram. Ternyata, bagian ini terletak di paling pojok di luar gedung. Aku melangkah dengan hati-hati karena cukup ndredeg. Seperti apa isinya? Tengok di galeri foto saja ya... Saya akan menceritakan langsung dari kenampakan fotonya. To sum up, bagiku replika sistem penjara ini lebih seram ketimbang rumah hantu Jatim Park (atau rumah hantu-rumah hantu lainnya) yang pernah saya masuki semasa SD dulu. Terasa lebih nyata....
Seperti rencana awal, aku harus mencoba Saigon Waterbus mengarungi Sungai Saigon. Siang itu, tak ada orang yang terlihat di area terminal bus air. Teriknya matahari dan aroma air payau menambah panas cuaca. Ngalah-ngalahi Suroboyo pek! Kutengok kanan dan kiri. Kupelajari peta dan jadwal bus yang tertera pada dinding kaca. Ternyata, di balik dinding kaca inilah tempat pemesanan tiketnya. Murah saja, cukup VND 15.000 (sekitar Rp 9000) untuk sekali jalan sejauh 15 km dalam durasi kurang dari 1 jam. Aku membeli tiket pergi dan pulang.
Setelah setengah jam menunggu sambil panas-panas menyantap banh mi (roti, sejenis hotdog) yang tidak panas, gerbang pun dibuka. Aku memilih tempat duduk paling strategis, yaitu bangku depan, samping jendela, dan tentunya di bawah pendingin ruangan. Well, kamu harus mencoba bus air ini jika punya waktu longgar saat berkunjung ke Saigon. Biasa sih, tapi juga tidak biasa. Dibanding dengan bus kota yang walau ber-AC tapi masih omprengan, waterbus ini tergolong eksekutif. Kabin penumpang sangat bersih dan ber-AC. Pelampung yang disediakan bagi tiap penumpang pun masih sangat kinclong, mungkin baru. Di samping itu, kamu bisa melihat-lihat bangunan-bangunan dari distrik sebelah. Hanya saja, kapten bus ini berbicara hanya dalam Bahasa Vietnam sehingga aku selalu was-was dalam menerka pengumuman apa gerangan yang baru saja disampaikannya.
Setelah nge-tem di empat pelabuhan (dari sekitar 12 pelabuhan yang dilewati), sampailah kami di pelabuhan terakhir (pelabuhan kelima), yaitu Pelabuhan Linh Dong di Distrik Thu Duc. Ciyeeee pelabuhan terakhir. -_-. Disitu aku merasa mbambong. Pelabuhan Linh Dong tidak sebesar dan seramai Pelabuhan Bach Dang di Distrik 1 tempatku berangkat tadi. Pelabuhan ini terletak di perkampungan dan memang digunakan untuk transportasi sehari-hari. Saat aku turun di sana, tak ada orang lain selain orang-orang dari bus dan 1 petugas loket. Aku mengikuti penumpang-penumpang lain keluar area pelabuhan. Mungkin saja ada sesuatu yang bisa dilihat.
Kemana ya....? Eh kalau ternyata orang-orang itu ke tujuan masing-masing gimana?
Aku meragu. Saat itu, jam tangan pun sedang tidak bersahabat denganku. Bus airku dijadwalkan berangkat kembali ke Bach Dang pukul 15.50. Meskipun saat itu jamku menunjukkan pukul 15.10, otakku mengira bahwa sore itu sudah pukul 16.10. Gimana sih ini jadwalnya? Berarti busku ke Bach Dang berangkat 20 menit yang lalu. Berarti yang pertama tadi molor tadi busnya. Terus aku baliknya naik apa? Busnya berangkat jam berapa?
![]() |
Seputar pemandangan yang bisa dinikmati dari dalam waterbus |
Pusing oleh miskomunikasi dengan waktu, aku kembali ke pelabuhan dan menanyakannya pada petugas loket. "Nineteen fifty", petugas itu berkata.
"Nineteen?" aku meyakinkan dengan terkejut.
"Nineteen fifty." bapak itu menjawab lagi dengan sangat-sangat jelas.
Edyaaaan. Masih nanti malem lak'an. Aku kembali keluar pelabuhan, mencari minuman. Minumku habis.... Ngelak! Di pinggir jalan ada es jeruk peras. Seger tuh. Sayang seribu sayang yang jualan gak ada!! Aku kepanasan, kehausan, dan kebingungan. Apa naik bus kota aja ya? Kutelusuri ternyata letak halte bus terdekat tidak terlalu jauh. Masih bisa dijangkau dengan berjalan lagi. Bisalah baliknya naik bus aja. Tapi coba tanya lagi deh. Sebelum bertanya, kutelusuri lagi jalanan itu untuk mencari minuman dingin.
"Ya, it's nineteen fifty."
Aku menunjukkan tiketku. Ah, sudah kesal nih rupa si bapak.
"It stated fifteen fifty. Has the schedule changed?"
"Ya, ya, it's nineteen fifty." dia menunjuk pada tulisan yang tertera pada tiketku dan pada loket. Allahurobbi.............. Ngapain sih pake engkel-engkelan sama ni alien. Aku jadi riskan sendiri.
![]() |
Kabin penumpang, gimana menurutmu? |
Aku tidak akan kemana-mana lagi. Aku mencari tempat yang agak teduh di antara terik yang menusuk-nusuk. Tak lama setelah duduk, seseorang menyapaku.
"Hi, where do you come from?" Alhamdulillah.... ada teman ngobrol walaupun agak aneh. Setidaknya kami bisa berkomunikasi meski terbata-bata. Namanya Quoc Viet, dia bekerja di Distrik 1, sebagai apa ya, lupa. Selama di bus pun kami mengobrol.
"Do you know Bui Vien?" tanyanya suatu ketika.
"No." jawabku yakin dan singkat.
"Oh really? It's very popular. That is the most famous place among western tourists. It is a walker street. You can walk along the crowded street."
Yah, sebut saja CFD kayak di Darmo di Surabaya itu lah, atau di Ijen Kota Malang. "You can have lots of fun there. You can dance and drink beer."
Ya Rabbi.... apa-apaan ini.
![]() |
Rasakan semilir anginnya |
"I don't drink beer." jawabku ingin mengakhiri pembicaraan.
"Oh oh it's okay. You can drink juices. Ummmmm..... maybe you want to go there with me?"
Anjayyy.... lapo kowe Mas?! Untung dia gak ngeh waktu aku buka maps dan ternyata penginapanku sebelahan sama Bui Vien. Lama kelamaan, orang ini semakin kelihatan "belok". Saat aku menolak dan berkata bahwa harus ke Ben Thanh, dia juga menawari untuk menemaniku. Parahnya lagi, dia merekomendasikan agar aku membeli busana tradisional Vietnam. I am look good in that dress katanya, sambil mengamati posturku. Ngawurr, mentolo tak jitak wong iki!
Sesampainya di Bach Dang, aku segera menjauh sembari mengintai kalau-kalau orang tadi mengikutiku. Seneng sih dapet teman baru, tapi worry juga. Hehe. Berhubung matahari belum rendah dan diri ini sudah lelah, aku memutuskan kembali ke hostel terlebih dahulu. Malamnya, aku pergi mengunjungi Ben Thanh Market sesi malam hari. Kabarnya, pasar yang dibuka malam hari di car free road sebelah bangunan pasar (yang digunakan untuk pasar sesi pagi sampai sore) menawarkan harga lebih mahal dibanding sesi paginya. Tapi tetap bisa ditawar sih.
![]() |
Buat transport? Bisa. Sekadar buat river tour? Bisa juga! |
Dari hostel, aku keluar gang melalui arah berbeda dari yang biasa kulalui. Di ujung gang, aku menemui banyak PKL dengan makanan, buah-buahan, serta banyak pelanggan. Ternyata, aku menuju jalanan yang sangat gemerlap. Sepanjang jalan dipenuhi pejalan kaki dan lampu berwarna-warni. Bahkan ada lampu yang muter-muter juga. Setiap bangunan terlihat begitu meriah dan menarik perhatian, jauh berbeda dengan taman-taman Vietnam yang kalem atau jalanan kota yang kumuh. Sampai di ujung jalan, aku membaca tulisan berwarna-warni,
"Bui Vien".
Oalaaaaah..... ini tho yang dimaksud sama si Quoc tadi. Ya Allah.... ternyata persis di sebelah hostelku. Pantes gaada ulasan tentang tempat ini dari teman-teman Indonesia, lha wong ini tempat ajeb-ajeb. Salah-salah bisa keciduk ntar. Aku baru ngeh dengan apa yang ditawarkan oleh "mbak-mbak cantik" pada "mas-mas bule" yang lewat di sepanjang jalan. Duh.... jauh-jauh deh dari sini. Pingin motret warna-warninya lampu, eh tapi takut sendiri. Dah, buruan minggat ajalah. Mau mampir juga malu ama jilbab, hohoho.
![]() |
Waterbusnya nggak cuma satu lhoooo. Emangnya kamu, cuma satu. Eaaak |
Aku melanjutkan perjalanan menuju Ben Thanh. Kebelenganku membaca peta membuat kakiku semakin gempor karena harus berputar kemana-mana. Padahal udah ada peta elektronik lho. Padahal GPS udah aktif lho. Padahal..... Ah... Parah! Sampai di Ben Thanh, aku tidak menemukan yang kucari. Mampir ke toko lain pun tak dapat apa-apa, malah sumpek sendiri oleh keramaian dan pemaksaan dari pedagang-pedagangnya.
Curhat ya, di sini tu banyak orang Malaysia. Jadi, pedagang di pasar ini udah biasa jualan pake Ringgit. Ada yang maksanya minta ampun sampai-sampai aku diusir dengan sangat ketus karena aku nggak niat beli. Aku diusir kayak ayam, tau nggak!
![]() |
Eh ada juga kapal yang nyebrangin sepeda motor |
Tak ada hasil di Benh Thanh dan sekitarnya, aku berburu KFC untuk mengisi lambung. Tau kan, KFC itu menu andalanku di sini. Yang lain makanannya "aneh-aneh". Tidak peduli dengan dandanan lusuh dan muka kucel, aku memesan es krim andalan. Tau juga kan, kalo eskrim dan menu lain di KFC Vietnam itu super duper murah? Saat sedang belepotan makan es krim, mbak-mbak cantik datang dan makan di meja sebelahku. Dia tersenyum padaku. Ooooooh, untung gak meleleh. Sembari menyantap pesanan, dia menyapaku. Kami pun berkenalan dan berfoto bersama. Fotonya gak saya aplot ya, foto cabe soalnya.
Namanya Amanda, entah nama asli atau nama beken. Dia adalah pedagang perhiasan. Katanya, dia punya banyak klien dari Malaysia yang memesan cincin kawin padanya. Bahkan ada pula yang setiap dua bulan sekali datang dan menemui dia. So sori ya Miss, saya nggak akan dua bulan sekali datang kesini, jadi kasihlah saya satu cincin perakmu sekarang juga. Lalu sedang apa dia hingga meninggalkan tokonya? "I'm in a date with my boyfriend. He is a police and I will wait until he finish his shift." Oalah.....
![]() |
Ih kotor ya..... |
Oke, segitu dulu cerita hari kedua saya. Entah kapan lagi bisa kesini dan menjajal rencana yang sudah batal: Mengunjungi terowongan Cu Chi. Mungkin lain kesempatan bisa ke Cu Chi lalu menyusuri Sungai Mekong dan menyambangi Pnom Phenh di Kamboja. Dan semoga jika kesempatan itu ada, saya sudah tak "sendiri" lagi... Sekian hari kedua saya akhiri karena besok masih ada cerita lagi. See you..... [day 2 END]
![]() |
Bonus Foto: Ayam KFC yang super duper gede dan maknyuss (dibandingin KFC Surabaya sih) |
Komentar
Posting Komentar