Langsung ke konten utama

Two Days Escape: Menggulung Ombak Tanpa Jiwa. Part 2.

Full team??

Hujan deras mengguyur tanpa ampun. Basah, dingin, dan gelap menaungi perjalanan kami. Beruntung, tak jauh sebelum deras kami menemukan sebuah kiosentah bengkel atau apauntuk berteduh. Meski masih gelap gulita, setidaknya kami tidak basah. Setelah dirasa mereda, kami memulai perjalanan lagi. Hingga tiba di suatu pertigaan, kami belok kiri. Dari sisi sebelah kiri pertigaan itu, kami mendengar seruan.

"Hooooooy!!!!" kawanku membalikkan kemudi, kembali ke pinggir pertigaan itu.....
_________

Bergotong royong menyiapkan hidangan
"Looooooohhh kaliaaaaan......." seruku.

"Banku bocooor, udah dua kali. Makanya nambal disini." kata salah seorang dari rombongan kami.

Alhamdulillaaaah.... sudah kumpul rame-rame lagi. Setelah urusan pengebanan selesai, kami segera meluncur. Sesampainya di tujuan.....

Hosh.....Hosh.....

Gak mau kalah nih, mau ikut masak jugaa

Inilah Pantai Sendiki, tempat kami berpiknik satu malam ini. Dari parkir sepeda motor kami langsung menuju loket (lebih tepatnya warung, sang penjaga pantai nongkrong di warung itu). Ternyata, dari parkiran ke bibir pantai jaraknya lumayan jauh untuk ukuran orang yang lagi teler macam kami. Beberapa turunan sekaligus tanjakan benar-benar menguras nafas.


"Dah sampai. Kita pasang tenda di sini aja yah..." kami memilih area tak jauh dari pantai.

"Cari tempat yang agak tinggi. Kalau hujan biar nggak tergenang atau teraliri air." iya, benar juga ya.

Sialnya, tenda kami sedikit basah akibat hujan tadi. Kami harus 'mengepel' alas tenda dengan alat apapun yang ada.  Penjaga pantai meminjami jaket pelampung (ada bagian yang terbuat dari kain dan spons) untuk 'mengepel'. Salah satu dari kami merelakan diri kembali ke parkiran untuk mengambil kanebo motor. Dengan sedikit lembap, kami menempati dua tenda yang telah kami siapkan.
_________

"Makan dulu yoook makaaaaan!" Setelah tenda siap, kami membagi tugas menyiapkan makan. Ada yang membuat api, ada yang menyiapkan bahan. Kami membawa buanyak ransum, mulai dari mie, sosis, pentol, roti, saos, kecap, susu, kopi, bahkan boncabe. Jadi semacam pesta barbeque, aku kebagian tugas menyate sosis dan pentol.


"Woy, ada yang masih ada plastiknyaaa!" tukang bakar protes karena sosisku ada yang terlewat untuk dibuka bungkusnya.

"Bukan aku yang bagian buka bungkuuus." teman di sebelahku membela diri.

"Udaaah, gabakal mati kok kena plastik dikit!" aku menyahut.

Tak lama kemudian, kami makan bersama. Yummmmmmmm.
_________

Setelah puas menyantap hidangan (bukan puas sih, hidangannya memang sudah habis), kami melanjutkan agenda.


"Lapo yo rek enake?" (ngapain ya enaknya?)

"Main werewolf aja yuuuk!" akhirnya kami berkumpul di satu tenda bermain werewolf. Saat itu aku tidak tahu apa itu werewolf. Aku hanya tahu namanya karena sangat hits tanpa tahu permainannya seperti apa. Ternyata, ini adalah game mafia. FYI, jauh sebelum permainan ini populer di Indonesia, aku telah mengenalnya dengan nama mafia. Aku dan teman sekelasku di kelas 1 SMA sangat menyukai permainan ini. Dahulu, seorang guru USA memperkenalkannya pada kami.

"Penguasa Lautan"

_________
Keesokan pagi, kami bermain-main di pantai. Ada yang melamun sendiri, ada yang menikmati ayunan seperti masa kecil dahulu, ada juga yang nyebur ke laut menikmati hempasan ombak, bahkan sangat menghayati bak dirinya adalah dewa laut. Aku hanya duduk-duduk saja menikmati roti di dekat tenda, tidak semangat berjalan-jalan melihat sekeliling seperti biasa. Aku sangat cemas. Aku berharap bisa segera pulang dan menyerahkan naskah skripsiku. Akan tetapi, kawan-kawanku sedang bersenang-senang. Mereka sama sekali tidak berniat untuk pulang cepat-cepat.


Kami pulang sekitar Dhuhur. Itupun karena seorang dari kami memiliki tugas presentasi hari itu. Para anggota lelaki mampir sejenak untuk Shalat Jumat. Sesampainya di kampus, kami pun tidak segera bubar karena salah seorang dari kami berulang tahun. Kawan-kawan ingin merayakannya terlebih dahulu. Hari sudah semakin sore dan mereka tak kunjung bubar. Dengan segenap perasaan tak enak, aku undur diri terlebih dahulu. Aku mengejar deadlineku. 


Pada akhirnya, aku berhasil mencetak semua naskahku (yang masih berantakan) sebelum Gedung Graha Sainta (di mana ruangan dosen-dosenku berada) ditutup. Aku sedikit lega karena naskahku sudah masuk dalam loker ketiga pengujiku, meski aku tahu mereka tak mungkin menerimanya karena sudah meninggalkan kampus sejak siang tadi. Dengan penuh kekalutan, aku hanya bisa berdoa. Aku harus bisa mengambil pelajaran dari perjalananku ini....

Komentar

  1. Ada banyak bagian yang kamu lupakan, entah kamu ingat atau tidak. Di setiap perjalanan itu, aku selalu mengkhawatirkan Tugas Akhirmu. Sebelum kamu berangkat pun, sudah kuwanti-wanti hal itu. Dan setelah pulang dari pantai, dengan cepat kujalankan sepeda motorku, karena aku khawatir dengan hal itu. Andai saja kau tau...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya... Kamu juga nganterin dan nungguin waktu ngeprint dan bolak balik kampusnya

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jernih dan Hitam antara Kabut dan Merah Jambu #2-tamat

Semalam, aku tertidur di awan kelabu. Aku terus berpikir bagaimana jika aku terjatuh padahal aku ingin melihat pelangi. Lalu degup jantungku mengatakan sesuatu. “Tenang gadisku. Kalau kau terjatuh, kau akan terjatuh bersama-sama.”  Benar juga. Sama sekali tak masalah buatku. Tapi aku takut. Bagaimana jika aku terjatuh sebelum sempat menyentuhnya? Bagaimana? Kabut perlahan menipis. Kilau perlahan bercahaya. Apakah ini serangan fajar? Namun warna merah jambu belum memudar. Aku benar-benar tak tahu yang akan terjadi. Aku tak mampu berangan-angan lagi. Tapi kabut perlahan menipis. Aku harus segera bergerak kecuali ingin dihempas angin jahat. Aku mencoba mencari celah.

Bonek Hikers. Part 4: Akhir Cerita Kita

The most favourite spot. Couldn't find a more beautiful yellow flowery field.... Setelah pikiran yang blingsatan ke mana-mana. Setelah keresahan yang mengubun-ubun. Selepas keputusasaan yang nyaris memuncak. PADANG SAVANA....... " Subhanallah......" "Allahu Akbar!" Kami semua jatuh terduduk. Sungguh luar biasa. Rasanya seperti surgaaaaa. Sekitar satu jam sebelum tengah malam kami sampai di padang luas tempat bermalam. Kami duduk sejenak, ingin bergulung-gulung di sana. Di padang inilah para pendaki biasa bermalam. Untuk menuju puncak, perjalanan hanya tinggal satu jam lagi. "Ayo semangat. Tambah sedikit lagi jalannya, kita mendekat ke tenda-tenda lain."  kami pun beranjak. Para calon tetangga membantu mendirikan tenda. Tanpa mengkhawatirkan makan malam, kami langsung menata diri untuk shalat dan beristirahat. Say Hi! Coming back home "Yang mau muncak ntar bangun jam tiga yaaa..."  beberapa memili...

Pantai Kondang Merak

Curly surface from top of a hill Hampir genap setahun, kunjunganku ke Pantai Kondang Merak juga kulakukan pada tahun 2017, tepatnya pada tanggal 8 Maret (cuma postingan ini nih yang tanggalnya tercatat). Aku mengunjungi pantai—yang saat itu sedang sepi—dalam rangka menemani seorang 'kawan dekat' survei lapangan untuk penelitian tugas akhirnya. Nggak tau sih, beneran survei apa modus pengen ngajak jalan-jalan, wkwkwkwk . Great Barrier Reef ala Kondang Merak Berhubung bukan hari libur, pantai sangat sepi, bahkan hampir tidak ada pengunjung yang datang dalam waktu bersamaan. Untuk menuju Kondang Merak, kami tinggal mengikuti jalan ke arah Balekambang, lalu berpisah di sebuah perempatan. Keluar dari jalan raya, medan yang harus dilewati terhitung cukup sulit. Tanjakan-tanjakan berupa tanah berbatu mudah saja membuat pengendara sepeda motor kehilangan keseimbangan. Menurut wikipedia, saat kondisi jalan normal pengunjung bisa menempuh perjalanan dari perempatan ...