Langsung ke konten utama

Pelayaran Berbadai


Jalan ini terlalu berongga
tak ada alasan buatku meraihnya
Jalan ini selalu berongga
karena aku terlalu berharga
untuk melanggar norma di atas metafora

Suatu Minggu di bulan April. Cinta ini masih tak jelas buatku sekaligus sangat jelas hingga tak ada satu alibi pun yang bisa kugunakan untuk mengelak. Kalau kata filsuf-tak-punya-hati cinta hanyalah metafora maka metafora adalah saput yang melapisi inti kebenaran. Sama halnya dengan partikel-partikel Jupiter yang kaulihat seperti bola padat. Padahal, ia adalah gugusan gas tak bernyawa yang berputar kencang, yang mungkin jika kau sentuh, tanganmu akan menembus ke dalamnya lalu hancur karena tekanannya. Sekabur itulah ia, setidaknya sebelum para astronom mengujinya.


Aku yakin bahwa Tuhan menjagaku dalam perjalananku menjadi bidadari. Aku pun percaya Tuhan masih mendedar sang pangeran agar ia mampu melawan maleficent hanya untuk menemukanku. Tapi dalam proses ini dengan angkuh aku mengabaikan keyakinan itu dan menyiksa diri dengan kisah cinta yang kubuat-buat—berputar putar tanpa makna.


Menyiksa diri? Hmm.... makhluk manakah yang menumbuk dosanya sendiri dengan penyiksaan? Berulang aku mengingatkan, tapi aku menikmatinya. Ya, menikmatinya. Menikmati segala kenangan, kebodohan, dan kemustahilan yang kumiliki. Cinta ini terlarang, seterlarang memakan buah khuldi yang menggiurkan nafsu.


 jalan ini dalam berongga
tak hanya duri yang menyakitkan
ada jurang
 yang hanya bisa diuruk dengan kekuatan mahaakbar


Seluruh kisah ini bagai prisma kaca. Memiliki banyak sudut tanpa ada sisi pertama dan kedua. Semuanya bisa jadi awal. Semuanya bisa jadi akhir. Semua itu berlalu begitu saja seiring tembus cahaya yang menjadikannya berpendar, mengeliling dengan satu pusat yang sama. Semua menempati ruangnya tanpa peduli satu sama lain. Partisi hati.


Aku memutar-mutar prisma itu. Ada sang mawar yang kian layu dan menghitam. Pesonanya mulai pudar namun tetap membekas. Ada sosok tak terdefinisi yang manakala kian dalam kutelusuri jalannya, kian tegas alam membantah kami berdua. Tuhan tak menyukainya. Ia tak ingin aku terjun dalam jurang yang tak mampu kuratakan kecuali ada malaikat yang dengan tulus menyihirnya.


Di lain sisi, duduk manis sang fajar yang membawaku menembus pagi, berlari di terik matahari. Lekas ia menggamitku keluar dari kegelapan yang mendingin. Lompatan ini begitu sempurna. Sayang aku hanya setetes embun di pucuk daun talas yang hanya sekejap, berkawan gutasi alam, menguap seiring fajar yang semakin siang semakin membara sebagai raja selepas dhuha. Bagiku, mengenalnya adalah bahagia. Aku tak boleh mengutuki bumi yang berotasi mengajaknya pergi dari shubuh yang menenangkan. Jika bumi tak berotasi, kami tak akan ada dan melakoni kisah—tak berantai tapi bergerumbul—ini. Sebuah kebenaran yang naif. Sebenarnya cukup bagiku merasakan kehangatannya sekali. Namun kurasa tidak dan oleh sebabnya aku kembali ke dasar jurang yang tak tersinari.


mungkin kali ini aku buta
mengejar kuman di seberang jurang padahal aku tak pandai terbang
mungkin benar aku buta
mengharap mentari yang menyilaukan jagad raya

Sementara nun di belakang sana, sebuah cahaya sederhana mungkin sedang berusaha menggapaiku dengan indah. Kasihnya menyirami alam dengan pesona. Sucinya melumatkan kekejaman dunia. Pepohonan bergoyang seirama alunan langkahnya pada hampiranku. Aku tak berani mereka-reka. Bagiku ia adalah kabar yang terdengar melalui desau angin. Kau tahu maksudku. Angin tak melihat darimana suara itu datang dan tak peduli pada siapa ia menghantar dan memperdengarkannya. Bisa jadi dia adalah seutas kabar yang salah tuju karena angin terlalu cepat menjatuhkan. Maka prisma itu terus berputar enggan. Terus terisi, tanpa kesimpulan.


Bagaimana aku akan memedulikan angin
sementara badai melahap degup jantungku
belum terlambat untuk mengayunkan dayung pergi menjauh dari badai yang mungkin sulit hilang
untuk kembali menyongsong cahaya sederhana dengan rendah hati
tapi bagaimana kuberkata
bahwa badai itu kurindukan
tak pernah kusingkirkan
sekalipun pasang surut hati ini membawaku terbang menghilang
Aku ingin mengejarnya lebih kencang.



 


#Kisah ini tak nyata. Hanya metafora antara cinta yang terbagi tiga.
26.27 April 2015
backsound: Point of Origin ~ Yanni
Sumber gambar: google.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waduk Bajulmati, Pesona Eksotisme Jawa Timur

si Bajul yang tengah terlelap Hutan Baluran yang saat itu sedang terbakar :(, 13 September 2016 dilewati saat mengunjungi waduk dari arah Situbondo Pintu masuk Waduk Bajulmati, pengunjung disambut oleh patung penari khas Banyuwangi Belum banyak yang tahu mengenai waduk di timur Pulau Jawa ini. Diapit oleh Gunung Baluran dan Pegunungan Ijen, secara geografis waduk ini terletak di perbatasan Kabupaten Situbondo dan Banyuwangi. Dari arah Situbondo, pengunjung tinggal berkendara ke arah Timur (lalu serong sedikit ke arah Tenggara) sejauh 55 km mengikuti jalan utama Situbondo-Banyuwangi. Dari arah Banyuwangi, pengunjung bisa melalui jalan yang sama ke arah utara. Selain kendaraan pribadi, kita bisa menumpang bus jalur Situbondo-Banyuwangi.   Waduk anyar yang terletak di kawasan Alas Baluran mulai dibuka untuk umum tahun 2016. Masih tergolong baru saat saya menengok ke sana pada September 2016. Saat itu, kendaraan masih boleh masu...

Penjelajahan Vietnam Rose. Part 1: Terbang....

You only turn 21 once and it goes by very fast. Satu kalimat yang diutarakan oleh ibu Ben Campbell pada film "21" itu sangat menyihirku. Aku bukanlah orang yang percaya pada mitos ( percayanya sama fairytale malah, :D ), bukan juga anak manusia yang peduli pada sesuatu yang dinamakan "ulang tahun" ( peduli? inget aja enggak! ). Akan tetapi, awal tahun ini aku begitu was-was sekaligus tak sabar menantikan 21-ku. Benar saja. Di awal langkah 21-ku, aku menemui bermacam kisah spektakuler yang mengalahkan perjalanan Hogwarts ku. Salah satunya adalah perjalanan ini.

Air Terjun Talempong: Untouched

nyawah Melanjutkan perjalanan hari sebelumnya di dermaga , adikku mengajakku ke air terjun di kaki Gunung Argopuro. Hanya percaya sepenuhnya, aku tak mengira dan sama sekali tak membayangkan dimana letak air terjun ini. Melihat dia yang begitu enteng mengajak pergi sore-sore, aku mengira akan berkunjung ke tempat yang dekat-dekat saja. Ditambah lagi jawaban geje ( gak jelas) yang selalu dilontarkan saat ditanya, membuat perjalanan ini semakin tidak jelas saja. Memang dasar laki-laki baru gede yang semangat menjelajahnya tinggi, kami pergi tanpa persiapan apapun. Asri: Pemancangan Desa Talempong Kami melipiri pantura ke arah barat. Di tengah perjalanan, kami menjemput seorang kawan. Dia teman SMP adikku yang kini bersekolah di SMAku dulu. Saat mentari ashar sudah berjalan hampir separuhnya, kami melewati terminal dan alun-alun Besuki. Oh tidak, batinku. Ini jauh sekali . Kami masih berjalan terus ke barat hingga sampailah di SPBU Utama Raya, satu dari sejumlah S...