Merah jambu. Malam pekat ini berwarna merah jambu. Daku terlelah
menghadapi rumitnya malam ini. Terlelah tanpa terengah. Syukur aku bisa
menyembunyikannya. Tapi sayang, mereka menatapku terus terdiam, bukan
dalam diam.
Aku berpindah dari tempat yang satu itu menuju
satu yang lainnya. Masih membisu, aku mulai bergerak meninggalkan
keramaian yang sepi. Aku berjalan melewati hutan yang hitam, entah
rimbun atau gersang.
Setelah melewati kesunyian hutan, aku
sampai di sebuah luasan yang lebih bersahabat. Di sana ada warna.
Setidaknya, aku tak lagi sunyi walaupun warna itu terus berubah dari
marah, bingung, lelah, gerah, dan sayang.
Aku mengingat
lagi apa yang harus aku lakukan. Esok, aku harus berada di tanah lapang
untuk melakukan peran yang tak kubayangkan akan singgah di pelataran
jati diriku. Aku harus berteriak lantang. Memang, tak banyak yang tahu
bahwa aku bisu. Tapi mereka ingin aku berteriak. Aku ragu. Bukan karena
ingin menghindar melainkan karena aku ingin ada di tanah lapang itu. Aku
ingin melukisnya. Aku ingin melukis teriakan-teriakan itu. Sejauh yang
aku mampu, aku yakin aku bisa melenceng sedikit dari barisan dan mulai
melukis, masih dengan membisu.
Faktanya, hanya itu
satu-satunya yang mendorongku untuk ke sana. Aku tak sabar untuk merekam
teriakan itu pada kanvasku. Aku merasa tak ada lagi warna yang lebih
indah dari warna teriakan itu.
Namun yang kuhadapi
ternyata tak sesederhana itu. Setelah melewati hutan tanpa peradaban,
aku bertemu dengan sosok yang sangat menjengkelkan. Dia sosok yang mampu
menghancurkan kebisuanku. Setiap telah berurusan dengannya, takkan ada
henti aku mencercanya. Semua karena kesal. Malam ini ia kembali
membuatku berbolak-balik arah tanpa panduan.
“Aku butuh bantuanmu”, katanya.
Hanya
dengan itu, arahku sudah menghancurkan kompas di seluruh dunia. Kupikir
teriakan dalam kanvas akan menghentikanku. Sayang, dia malah membisu,
menggantikan tugas keseharianku.
Aku memikirkan segala
peluang dan akibat yang akan muncul di hadapanku. Peran dan kanvasku,
atau dia dan kebutuhannya. Malam membentuk kabut yang berwarna-warni,
berputar-putar dalam satu pusaran penuh menyisakan ruang untukku dan
dirinya. Dia bukan siapa-siapa. Sekilas, kabut berwarna tak waras itu
meniupkan bisikan agar aku menemani orang yang bukan siapa-siapa itu.
Sekilas juga, aku menyetujuinya. Aku pun tak habis pikir walau pikiranku
sudah habis sejak sebelum melewati hutan tadi. Yang kutahu, langit tadi
masih jernih dan hitam saat kanvasku berbinar penuh harap akan kuisi
dengan teriakan-teriakan yang tak kumengerti namun kupahami bahwa itu
berharga. Tapi sekarang, langit berkabut berwarna merah jambu saat aku
memutuskan.
“Ijinkan aku membantumu”. (1 Mei 2014)
Komentar
Posting Komentar