Langsung ke konten utama

Jernih dan Hitam antara Kabut dan Merah Jambu #1

Merah jambu. Malam pekat ini berwarna merah jambu. Daku terlelah menghadapi rumitnya malam ini. Terlelah tanpa terengah. Syukur aku bisa menyembunyikannya. Tapi sayang, mereka menatapku terus terdiam, bukan dalam diam.

Aku berpindah dari tempat yang satu itu menuju satu yang lainnya. Masih membisu, aku mulai bergerak meninggalkan keramaian yang sepi. Aku berjalan melewati hutan yang hitam, entah rimbun atau gersang.

Setelah melewati kesunyian hutan, aku sampai di sebuah luasan yang lebih bersahabat. Di sana ada warna. Setidaknya, aku tak lagi sunyi walaupun warna itu terus berubah dari marah, bingung, lelah, gerah, dan sayang.

Aku mengingat lagi apa yang harus aku lakukan. Esok, aku harus berada di tanah lapang untuk melakukan peran yang tak kubayangkan akan singgah di pelataran jati diriku. Aku harus berteriak lantang. Memang, tak banyak yang tahu bahwa aku bisu. Tapi mereka ingin aku berteriak. Aku ragu. Bukan karena ingin menghindar melainkan karena aku ingin ada di tanah lapang itu. Aku ingin melukisnya. Aku ingin melukis teriakan-teriakan itu. Sejauh yang aku mampu, aku yakin aku bisa melenceng sedikit dari barisan dan mulai melukis, masih dengan membisu.

Faktanya, hanya itu satu-satunya yang mendorongku untuk ke sana. Aku tak sabar untuk merekam teriakan itu pada kanvasku. Aku merasa tak ada lagi warna yang lebih indah dari warna teriakan itu.

Namun yang kuhadapi ternyata tak sesederhana itu. Setelah melewati hutan tanpa peradaban, aku bertemu dengan sosok yang sangat menjengkelkan. Dia sosok yang mampu menghancurkan kebisuanku. Setiap telah berurusan dengannya, takkan ada henti aku mencercanya. Semua karena kesal. Malam ini ia kembali membuatku berbolak-balik arah tanpa panduan.

“Aku butuh bantuanmu”, katanya.

Hanya dengan itu, arahku sudah menghancurkan kompas di seluruh dunia. Kupikir teriakan dalam kanvas akan menghentikanku. Sayang, dia malah membisu, menggantikan tugas keseharianku.

Aku memikirkan segala peluang dan akibat yang akan muncul di hadapanku. Peran dan kanvasku, atau dia dan kebutuhannya. Malam membentuk kabut yang berwarna-warni, berputar-putar dalam satu pusaran penuh menyisakan ruang untukku dan dirinya. Dia bukan siapa-siapa. Sekilas, kabut berwarna tak waras itu meniupkan bisikan agar aku menemani orang yang bukan siapa-siapa itu. Sekilas juga, aku menyetujuinya. Aku pun tak habis pikir walau pikiranku sudah habis sejak sebelum melewati hutan tadi. Yang kutahu, langit tadi masih jernih dan hitam saat kanvasku berbinar penuh harap akan kuisi dengan teriakan-teriakan yang tak kumengerti namun kupahami bahwa itu berharga. Tapi sekarang, langit berkabut berwarna merah jambu saat aku memutuskan.

“Ijinkan aku membantumu”. (1 Mei 2014)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jernih dan Hitam antara Kabut dan Merah Jambu #2-tamat

Semalam, aku tertidur di awan kelabu. Aku terus berpikir bagaimana jika aku terjatuh padahal aku ingin melihat pelangi. Lalu degup jantungku mengatakan sesuatu. “Tenang gadisku. Kalau kau terjatuh, kau akan terjatuh bersama-sama.”  Benar juga. Sama sekali tak masalah buatku. Tapi aku takut. Bagaimana jika aku terjatuh sebelum sempat menyentuhnya? Bagaimana? Kabut perlahan menipis. Kilau perlahan bercahaya. Apakah ini serangan fajar? Namun warna merah jambu belum memudar. Aku benar-benar tak tahu yang akan terjadi. Aku tak mampu berangan-angan lagi. Tapi kabut perlahan menipis. Aku harus segera bergerak kecuali ingin dihempas angin jahat. Aku mencoba mencari celah.

Bonek Hikers. Part 4: Akhir Cerita Kita

The most favourite spot. Couldn't find a more beautiful yellow flowery field.... Setelah pikiran yang blingsatan ke mana-mana. Setelah keresahan yang mengubun-ubun. Selepas keputusasaan yang nyaris memuncak. PADANG SAVANA....... " Subhanallah......" "Allahu Akbar!" Kami semua jatuh terduduk. Sungguh luar biasa. Rasanya seperti surgaaaaa. Sekitar satu jam sebelum tengah malam kami sampai di padang luas tempat bermalam. Kami duduk sejenak, ingin bergulung-gulung di sana. Di padang inilah para pendaki biasa bermalam. Untuk menuju puncak, perjalanan hanya tinggal satu jam lagi. "Ayo semangat. Tambah sedikit lagi jalannya, kita mendekat ke tenda-tenda lain."  kami pun beranjak. Para calon tetangga membantu mendirikan tenda. Tanpa mengkhawatirkan makan malam, kami langsung menata diri untuk shalat dan beristirahat. Say Hi! Coming back home "Yang mau muncak ntar bangun jam tiga yaaa..."  beberapa memili...

Pantai Kondang Merak

Curly surface from top of a hill Hampir genap setahun, kunjunganku ke Pantai Kondang Merak juga kulakukan pada tahun 2017, tepatnya pada tanggal 8 Maret (cuma postingan ini nih yang tanggalnya tercatat). Aku mengunjungi pantai—yang saat itu sedang sepi—dalam rangka menemani seorang 'kawan dekat' survei lapangan untuk penelitian tugas akhirnya. Nggak tau sih, beneran survei apa modus pengen ngajak jalan-jalan, wkwkwkwk . Great Barrier Reef ala Kondang Merak Berhubung bukan hari libur, pantai sangat sepi, bahkan hampir tidak ada pengunjung yang datang dalam waktu bersamaan. Untuk menuju Kondang Merak, kami tinggal mengikuti jalan ke arah Balekambang, lalu berpisah di sebuah perempatan. Keluar dari jalan raya, medan yang harus dilewati terhitung cukup sulit. Tanjakan-tanjakan berupa tanah berbatu mudah saja membuat pengendara sepeda motor kehilangan keseimbangan. Menurut wikipedia, saat kondisi jalan normal pengunjung bisa menempuh perjalanan dari perempatan ...