Langsung ke konten utama

Bonek Hikers. Part 3: Pos Frustasi (?)



May 29, 2016. Petang hari.

Cahaya memudar seiring bumi yang terus berputar. Berbalut cemas dan segala rupa was-was, senter dan headlamp dikeluarkan. Jumlah senter yang kurang dari jumlah personil membuat pasukan ini semakin diselimuti gelisah. Kami mencari penghiburan masing-masing untuk menenangkan diri. Tak ada tanda-tanda kehidupan selain pohon yang menjulang-julang. Aaah... jangankan puncak atau padang savana. Tanah lapang barang sejengkal pun rasanya bahagia. Aku rasa kami telah sampai di pos yang paling membahana. Aku menyebutnya Pos Frustasi.

Jarum jam terus berputar, semakin menjauh dari angka tujuh dan delapan, bahkan sembilan. Pikiran kami blingsatan ke sudut-sudut hutan. Segala jenis doa tak sedetik pun berani dihentikan. Sampai kapan perjalanan ini berakhir? Kami sama-sama tidak tahu. Tak ada lagi yang mampu memperkirakan seberapa jauh lagi yang harus ditempuh.

Segala petunjuk kami baca. Segala tanda kami amati. Namun tak ada yang bisa kami temui selain pohon dan gelap. Tak ada lagi rombongan yang saling menyalip. Semua pendaki lain pastilah sudah sampai dan duduk manis di dalam tenda. Sementara kami di sini hampir saja kehilangan arah.

'Blugh'. Satu orang terjatuh. Terkilir. Carut marut dalam hati pun berlanjut. Dalam diam kami sama-sama tahu bahwa kami berada di ambang putus asa. Pundak dan paha sudah mati rasa. Saking matinya, segala lelah meluap sudah. Kami melangkah dan terus melangkah. Tapi satu kawan kami tak boleh dipaksa.

"Mau ngecamp di sini aja kah?"  satu percakapan dibuka.

Kami tahu itu bukan pilihan terbaik. Permukaan ini tidak datar. Areanya pun tak cukup luas untuk mendirikan tenda dengan aman. Pun tak ada yang tahu binatang apa yang bisa tiba-tiba ingin berkenalan. Kami hanya bertujuh yang tak tahu apa-apa. Tidak ada kemungkinan orang lain akan lewat. Juga tak ada tanda-tanda bahwa sedikit lagi di depan, akan kami temui tanah lapang.

"Tapi nggak mungkin juga dilanjutkan. Ini keseleo. Udah nggak kuat."

"Terus gimana?"

Buntu. Pikiran kami buntu. 

"Aku setuju kita ngecamp di sini asalkan ada orang lain."

Hening. Tak ada yang lain selain selain tujuh orang dan pepohonan. 

"Yaudah yuk jalan."  seorang gadis dengan kaki terkilir menguatkan dirinya. Belum lama menambah jarak, kami berhenti. Begitu seterusnya hingga beberapa kali. 

"Sudah, rek. Nggak bisa dipaksa. Bahaya kalau kakinya kenapa-napa."  kami begitu mengkhawatirkan sebilah kaki yang sungguh perlu perawatan. 

"Berhenti lama juga bahaya. Kita bisa kedinginan. Tambah malem juga."

"Kalian lanjut aja wes. Aku tinggal di sini nggak papa."

"Lho. Nggak bisa gitu juga...."

........ perdebatan terus berlanjut. Pikiran semakin kacau. Keputusan cenderung lebih kuat untuk maju....... 

"Sudah. Sekarang kamu sendiri yang bisa mengerti kondisimu. Coba dirasa-rasakan, apa masih kuat untuk lanjut. Sambil kita perhitungkan, seberapa aman kalau kita tinggal."

"Ayo jalan."  dia berdiri dengan penuh ketegaran.

Akhirnya dengan mantap kami memutuskan. Kawan kami sudah lebih kuat untuk berjalan. Tak lama.....

' Brug' , kami semua terduduk kembali.

"Gini aja. Kami bertiga tunggu di sini. Kalian berempat lanjut. Sudah, nggak usah bingung lagi."
"Nggak. Nggak bisa. Aku bisa ninggalin kalian di sini kalau ada rombongan lain yang ngecamp di sini."  (dan itu mustahil.....) 

"................................"

"Oke oke. Yuk. Bismillah, aku kuat."

"Oke. Kuat yaaaa..... Semangat!! Yuk berdoa lagi."

Alhasil kami berangkat. Mau bagaimana lagi, mundur tak mungkin. Maju atau mundur sama beratnya. Tapi untuk maju, kami tak tahu apa dan seberapa jauh yang akan kami hadapi. Berhenti pun bagaikan bunuh diri, bukan pilihan terbaik. Akhirnya dengan segala kekuatan yang dikuat-kuatkan, kami bangkit. Saat itu tak ada lagi keluhan lelah, pegal, minta balsam, ataupun minta istirahat. Semua fokus pada doa dan pijakan kakinya. Medan-medan selanjutnya semakin membutuhkan konsentrasi. Tanah pijakan hanya cukup untuk satu kaki. Salah langkah, kami bisa dengan mudah berguling-guling ke dasar jurang. Akar-akar tanaman yang kami gunakan untuk berpegangan pun tak menjamin keselamatan. Salah pilih pegangan, yang terjadi adalah tersentak jatuh.

Keadaan dipesulit dengan sumber cahaya yang tidak memadai. Setiap satu langkah sulit, kami yang memegang senter harus berbalik untuk menyenteri kawan di belakangnya yang tidak membawa senter. Hingga beberapa jam, kami terus melipir sedetik demi sedetik di pinggiran gunung. Berbagai jenis perasaan tergambar dalam benak. Rindu keluarga, rasa bersalah, hutang yang belum tertunaikan, bayangan kematian, permintaan untuk memperpendek jarak, hingga permintaan untuk dilindungi dari segala jenis halusinasi. Berlebihan memang. Tapi kami benar-benar baru merasakan kondisi seperti ini pertama kali.

Kami semua melangkah dalam wajah yang tak bisa dikata tenang....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waduk Bajulmati, Pesona Eksotisme Jawa Timur

si Bajul yang tengah terlelap Hutan Baluran yang saat itu sedang terbakar :(, 13 September 2016 dilewati saat mengunjungi waduk dari arah Situbondo Pintu masuk Waduk Bajulmati, pengunjung disambut oleh patung penari khas Banyuwangi Belum banyak yang tahu mengenai waduk di timur Pulau Jawa ini. Diapit oleh Gunung Baluran dan Pegunungan Ijen, secara geografis waduk ini terletak di perbatasan Kabupaten Situbondo dan Banyuwangi. Dari arah Situbondo, pengunjung tinggal berkendara ke arah Timur (lalu serong sedikit ke arah Tenggara) sejauh 55 km mengikuti jalan utama Situbondo-Banyuwangi. Dari arah Banyuwangi, pengunjung bisa melalui jalan yang sama ke arah utara. Selain kendaraan pribadi, kita bisa menumpang bus jalur Situbondo-Banyuwangi.   Waduk anyar yang terletak di kawasan Alas Baluran mulai dibuka untuk umum tahun 2016. Masih tergolong baru saat saya menengok ke sana pada September 2016. Saat itu, kendaraan masih boleh masu...

Penjelajahan Vietnam Rose. Part 1: Terbang....

You only turn 21 once and it goes by very fast. Satu kalimat yang diutarakan oleh ibu Ben Campbell pada film "21" itu sangat menyihirku. Aku bukanlah orang yang percaya pada mitos ( percayanya sama fairytale malah, :D ), bukan juga anak manusia yang peduli pada sesuatu yang dinamakan "ulang tahun" ( peduli? inget aja enggak! ). Akan tetapi, awal tahun ini aku begitu was-was sekaligus tak sabar menantikan 21-ku. Benar saja. Di awal langkah 21-ku, aku menemui bermacam kisah spektakuler yang mengalahkan perjalanan Hogwarts ku. Salah satunya adalah perjalanan ini.

Air Terjun Talempong: Untouched

nyawah Melanjutkan perjalanan hari sebelumnya di dermaga , adikku mengajakku ke air terjun di kaki Gunung Argopuro. Hanya percaya sepenuhnya, aku tak mengira dan sama sekali tak membayangkan dimana letak air terjun ini. Melihat dia yang begitu enteng mengajak pergi sore-sore, aku mengira akan berkunjung ke tempat yang dekat-dekat saja. Ditambah lagi jawaban geje ( gak jelas) yang selalu dilontarkan saat ditanya, membuat perjalanan ini semakin tidak jelas saja. Memang dasar laki-laki baru gede yang semangat menjelajahnya tinggi, kami pergi tanpa persiapan apapun. Asri: Pemancangan Desa Talempong Kami melipiri pantura ke arah barat. Di tengah perjalanan, kami menjemput seorang kawan. Dia teman SMP adikku yang kini bersekolah di SMAku dulu. Saat mentari ashar sudah berjalan hampir separuhnya, kami melewati terminal dan alun-alun Besuki. Oh tidak, batinku. Ini jauh sekali . Kami masih berjalan terus ke barat hingga sampailah di SPBU Utama Raya, satu dari sejumlah S...