Langsung ke konten utama

Bandung Story. Part 2.2: Menjelajahi Taman Hutan Raya Djuanda, "Tersasar Berbonus Pemandangan Apik"

Keluar dari mulut Gua Belanda, saya lanjut berjalan menanjak. Setelah bermenit-menit yang cukup membuat ngos-ngosan, saya dan kawan saja berhenti sejenak untuk memulihkan nafas dan menyantap kudapan yang kami bawa. Kami menumpang duduk di sebuah warung yang berdiri di pojok persimpangan jalan.

"Kalo yang kiri ke penangkaran rusa, yang kanan ke curug (air terjun)" jawab ibu pemilik warung ketika ditanya oleh pengunjung yang lewat. Saya tidak tahu mana jalur yang benar karena tidak ada petunjuk arah lagi. Sebelah kanan adalah jalur utama sedangkan sebelah kiri adalah jalan yang lebih kecil dan menyeberangi sungai.


Antre menunggu pengunjung lain berfoto ria
pintu air?

"Kata bapak-bapak yang di gua tadi, curugnya cuma keliatan dari jembatan, nggak bisa disamperin." kata Bening, kawan kuliah yang menemani saya sejak kemarin. Tapi kata ibuk warungnya curug kok ke atas (jalur kanan) ya?

"Ya udah, kita ngintip ke tengah jembatan dulu aja yuk. Habis itu balik lagi, lanjut ke atas." ajak saya. Namun berada di zaman milenial seperti yang kita hadapi sekarang, jembatan itu dipenuhi pengunjung yang antre berfoto ria.

"Duh, males nungguin orang foto. Langsung naik aja yuk." alhasil kami tidak mengintip pemandangan apa yang bisa didapat dari jembatan itu. Palingan juga sungai ama pohon-pohon, pikir saya.

Trek 3: Penangkaran Rusa

Hanya satu papan kecil yang kami temui, menunjukkan arah ke penangkaran rusa. Kami belok kiri mengikuti petunjuk tadi sembari bertanya-tanya, wah berarti curug Koleang sudah kelewatan ya. Ya, sepertinya memang begitu. Ternyata, rute menuju penangkaran rusa ini memutar kembali ke arah tempat kami berangkat. Sudah kepalang tanggung, kami ikuti saja rute itu meskipun nanti harus berbalik arah lagi.
Pengunjung mencoba memberi makan rusa-rusa di penangkaran
Setelah berjalan melewati jembatan, sungai, pintu air, hingga bekas PLTA, sampailah kami di penangkaran. Satu pikiran terlintas di benak saya, kondisinya memprihatinkan. Entah kenapa, rusa-rusa itu berkumpul di tanah yang becek padahal wilayah penangkaran itu sangat luas dan kering (begonya saya kenapa nggak nanyain ke petugasnya ya. Kan bisa dapat banyak informasi). Badannya sangat kotor oleh tanah basah. Berulang kali kepalanya bergidik dan menoleh untuk mengusir lalat dan nyamuk yang begitu naksir mendekat pada tubuh kurusnya yang gundul. Beberapa rusa tidak berhenti menggigil dan gemetaran, tidak tahu apa sebabnya. Bahkan, ada pula tubuh-tubuh yang berdarah tergores luka. Saya tidak tahu apa yang membuat rusa-rusa ini berada pada kondisi seperti itu. Semoga mereka mendapatkan perawatan yang baik di penangkaran Tahura ini.

Sekelompok rusa yang memelas
Trek 3: Batu Batik dan Curug Lalay

Dari penangkaran rusa, kami kembali ke persimpangan jalan tempat kami menemukan petunjuk arah menuju penangkaran, Kami kembali melewati jalur utama yang menanjak ke atas. Hanya berjarak 200 meter, kami menemukan tangga turun yang mengarah pada Batu Batik. Mengintip ketinggiannya yang lumayan tinggi dan curam, kami memutuskan untuk melewatkan spot yang satu ini, Turunnya sih enak, gak kuat bayangin naiknya nanti. Untuk menghibur diri, saya berusaha mengira-ngira seperti apa bentuknya dan berhasil membayangkan sesuatu. Mungkin di sana ada batu gede. Terus jamur dan kerak-kerak di permukaan batunya membentuk motif batik.

Tangga turun menuju Batu Batik
Setelah berselancar di google, ternyata wujudnya bukan batu besar saja, melainkan batuan datar yang permukaannya cukup luas dan dihiasi oleh berbagai ukiran. Pada awalnya saya melihat bentuk ukirannya seperti kepangan rambut. Lagi-lagi setelah berselancar di mbah google, ternyata motif tersebut adalah motif selendang dayang Sumbi. Konon, ukiran pada batu batik ini terbentuk secara alami, bukan diukir oleh tangan manusia. Luar biasa pokoknya. Unik dan langka!!

Selain melewatkan Batu Batik, kami juga melewatkan Curug Lalay. Kami menduga bahwa curug itu berada di bawah tak jauh dari Batu Batik.

Trek 4: Curug Omas / Curug Maribaya

Setelah melewatkan Batu Batik dan Curug Lalay, kami berjalan terus ke atas dengan tujuan akhir Curug Omas atau sering juga dikenal dengan sebutan Curug Maribaya.  Jarak yang harus ditempuh adalah 1,2 kilometer. Sampai di suatu titik, kami bertemu rombongan kecil (sekitar 4 orang) ibu-ibu beserta anak TK mereka. Rombongan itu memotong jalan ke arah kanan melewati jalan setapak di antara hutan-hutan. Jalan setapak itu sangat menanjak. Menurut keterangan ibu-ibu tadi, jalan setapak ini mengarah pada Tebing Keraton.

Menyusup di antara pepohonan untuk menuju tebing keraton
"Kalo lurus ke curug, kalo naik sini ke tebing." kata sang ibu.

"Curug sama tebing bagusan mana Bu?" tanya Bening.

"Bagus tebing lah." jawab sang ibu percaya diri. Atas dasar jawaban itulah kami memilih mengikuti sang ibu ke Tebing Keraton, sementara pengunjung lain yang sama bingungnya memilih lanjut di jalan yang benar. Pada akhirnya, kami gagal melihat Curug Maribaya karena mengambil jalur yang berbeda.

Trek 5: Tebing Keraton

Setelah cukup lelah mendaki, saya sedikit kehilangan keyakinan.

"Ini masih jauh Bu ke tebingnya?" tanya kami.

"Wah jauh neng, masih sekiloan lagi." jawabnya. Alamaaaaak. Yasudahlah, saya anggap ini gantinya rencana mendaki yang sudah batal. FYI, awalnya tujuan saya liburan ke Bandung adalah mendaki Gunung Gede.

Suasana tebing yang ramai pengunjung lengkap dengan kamera probadinya
Salah satu sudut yang fotogenik di area Tebing Keraton
 

Ini pengunjung, entah siapa. Karena anglenya apik, saya jepret juga. Semoga yang bersangkutan gak marah. Lagipula wajahnya tidak kelihatan kok.
Saya pikir tebing keraton terletak di puncak pendakian ini. Saya kaget karena ternyata kami malah menuju pemukiman penduduk. Lah kok tembus ke kampung gini. Ternyata kami masih harus berjalan ke luar kampung dan menumpang ojek. Tak lama kemuadian, gerimis turun. Kami sudah berjalan keluar kampung. Jalanannya masih berupa jalan tanah berbatu yang sangat sepi. Kami mulai khawatir.

"Kita balik aja yuk" ajak Bening. Menurutnya, akan lebih aman bila kami kembali. Meskipun harus menuruni hutan yang curam dan licin, setidaknya di sana kami masih berada dalam kawasan Tahura. Jika kami melanjutkan perjalanan menuju tebing, kami melewati jalan kampung di luar kawasan Tahura. Itu berarti keselamatan kami sudah di luar tanggung jawab pengelola Tahura. Hal itulah yang mendasari keyakinan Bening untuk kembali. Sebaliknya, saya cenderung memilih untuk lanjut.

"Kalau kita lanjut, setidaknya kita bisa berteduh di halaman rumah orang kalau nanti hujannya tambah deras. Tapi kalau balik, udah turunannya licin, gaada orang, terus kalau hujan kita gak punya tempat berteduh." begini pertimbangan saya melihat hujan mulai turun. Singkat cerita, kami sepakat untuk kembali ke kawasan Tahura. Belum keluar dari perkampungan, kami berpapasan dengan Ibu-ibu tadi.

Pemandangan dari menara pengawas
"Jangan balik neng, hujan ini. Bahaya lewat hutan-hutan sendirian." ujar salah satu ibu.

"Yah Ibu ini nggak ngelarang ya. Gapapa kalau Neng berani. Bukannya apa-apa, Ibu ini khawatir banget kalau kalian balik lagi, cewek-cewek cuma berdua loh. Udah, lanjut aja ke Tebing. Tinggal deket lagi sampai di pangkalan ojek kok." tegas sang ibu melihat gelagat kami yang masih ingin kembali. Demi mematuhi nasihat penduduk lokal dan menghindarkan diri dari kualat oleh omongan orang tua, kami menurut. Ternyata benar, letak pangkalan ojek tak jauh dari perkampungan tadi meskipun harus melewati jalan sepi yang awalnya kami rasa mengkhawatirkan. Sampai di sana, kami diliputi kegalauan lagi,




Secuil tebing

"Naik ojek atau jalan nih?" kami berbisik-bisik.

"Tarifnya itu Neng, udah tertulis. Ke tebing pp 50.000 satu orang. Kalau ke bawah (ke loket Tahura) 50.000 juga. Kalau mau jalan ya terserah, tapi jaranya 3 kilo Neng." seorang tukang ojek mendekati kami. Menurut google maps, jarak menuju tebing hanya 1,7 kilometer. "Satu motor deh bertiga, saya kasih 80.000." tawar si Bapak melihat gelagat kami yang tak rela merogoh kocek.

"80.000 tapi nanti dianternya sampai bawah gimana Pak?" saya mencoba menawar dan berhasil. Tarif yang seharusnya Rp200.000 untuk menuju tebing lalu diantar kembali ke loket bawah berhasil kami dapatkan seharga Rp80.000,00. Setelah dijalani, ternyata jalannya lumayan jauh dan curam jika ditempuh dengan berjalan kaki. Worth it lah untuk milih naik ojek. Lalu sampailah kami.

Loket masuk Tebing Keraton. Cukup menunjukkan tiket jika anda sudah memiliki tiket masuk Tahura
Jadi seperti apa tebing keraton itu? Ternyata bukan tebing sungguhan seperti yang kubayangkan. Tempat ini lebih cocok saya sebut sebagai spot foto, itu saja. Meski hanya bisa berfoto, pemandangan di sana sangatlah memukau. Seperti apa tampaknya, langsung saja tengok foto-foto yang saya sisipkan. Oh ya, pengunjung juga bisa berkemah di camping ground yang disediakan.

Akhir kata....

Demikianlah petualangan saya di Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda. Saya sangat puas dan bahagia telah menemukan tempat ini, lain daripada wisata yang lain. Dekat dengan alam, penuh petualangan, dan jauh dari orang-orang zaman digital yang mengantre tempat untuk berswafoto. Kekurangannya ada dua. Pertama adalah kurangnya petunjuk arah di setiap persimpangan jalan. Kedua adalah ketiadaan jalan tembus antara Tebing Keraton dan Curug Maribaya. Meskipun termasuk dalam satu jenis tiket terusan, Tahura di Dago, Tebing Keraton, serta Curug Maribaya memiliki pintu masuknya sendiri-sendiri. Pengunjung yang sudah sampai ke Curug Maribaya harus keluar lagi ke jalan raya dan mengambil kendaraannya untuk dibawa ke pintu masuk tebing, begitu pula sebaliknya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jernih dan Hitam antara Kabut dan Merah Jambu #2-tamat

Semalam, aku tertidur di awan kelabu. Aku terus berpikir bagaimana jika aku terjatuh padahal aku ingin melihat pelangi. Lalu degup jantungku mengatakan sesuatu. “Tenang gadisku. Kalau kau terjatuh, kau akan terjatuh bersama-sama.”  Benar juga. Sama sekali tak masalah buatku. Tapi aku takut. Bagaimana jika aku terjatuh sebelum sempat menyentuhnya? Bagaimana? Kabut perlahan menipis. Kilau perlahan bercahaya. Apakah ini serangan fajar? Namun warna merah jambu belum memudar. Aku benar-benar tak tahu yang akan terjadi. Aku tak mampu berangan-angan lagi. Tapi kabut perlahan menipis. Aku harus segera bergerak kecuali ingin dihempas angin jahat. Aku mencoba mencari celah.

Bonek Hikers. Part 4: Akhir Cerita Kita

The most favourite spot. Couldn't find a more beautiful yellow flowery field.... Setelah pikiran yang blingsatan ke mana-mana. Setelah keresahan yang mengubun-ubun. Selepas keputusasaan yang nyaris memuncak. PADANG SAVANA....... " Subhanallah......" "Allahu Akbar!" Kami semua jatuh terduduk. Sungguh luar biasa. Rasanya seperti surgaaaaa. Sekitar satu jam sebelum tengah malam kami sampai di padang luas tempat bermalam. Kami duduk sejenak, ingin bergulung-gulung di sana. Di padang inilah para pendaki biasa bermalam. Untuk menuju puncak, perjalanan hanya tinggal satu jam lagi. "Ayo semangat. Tambah sedikit lagi jalannya, kita mendekat ke tenda-tenda lain."  kami pun beranjak. Para calon tetangga membantu mendirikan tenda. Tanpa mengkhawatirkan makan malam, kami langsung menata diri untuk shalat dan beristirahat. Say Hi! Coming back home "Yang mau muncak ntar bangun jam tiga yaaa..."  beberapa memili...

Pantai Kondang Merak

Curly surface from top of a hill Hampir genap setahun, kunjunganku ke Pantai Kondang Merak juga kulakukan pada tahun 2017, tepatnya pada tanggal 8 Maret (cuma postingan ini nih yang tanggalnya tercatat). Aku mengunjungi pantai—yang saat itu sedang sepi—dalam rangka menemani seorang 'kawan dekat' survei lapangan untuk penelitian tugas akhirnya. Nggak tau sih, beneran survei apa modus pengen ngajak jalan-jalan, wkwkwkwk . Great Barrier Reef ala Kondang Merak Berhubung bukan hari libur, pantai sangat sepi, bahkan hampir tidak ada pengunjung yang datang dalam waktu bersamaan. Untuk menuju Kondang Merak, kami tinggal mengikuti jalan ke arah Balekambang, lalu berpisah di sebuah perempatan. Keluar dari jalan raya, medan yang harus dilewati terhitung cukup sulit. Tanjakan-tanjakan berupa tanah berbatu mudah saja membuat pengendara sepeda motor kehilangan keseimbangan. Menurut wikipedia, saat kondisi jalan normal pengunjung bisa menempuh perjalanan dari perempatan ...