You only turn 21 once and it goes by very fast.
Satu kalimat yang diutarakan oleh ibu Ben Campbell pada film "21" itu sangat menyihirku. Aku bukanlah orang yang percaya pada mitos (percayanya sama fairytale malah, :D), bukan juga anak manusia yang peduli pada sesuatu yang dinamakan "ulang tahun" (peduli? inget aja enggak!). Akan tetapi, awal tahun ini aku begitu was-was sekaligus tak sabar menantikan 21-ku. Benar saja. Di awal langkah 21-ku, aku menemui bermacam kisah spektakuler yang mengalahkan perjalanan Hogwartsku. Salah satunya adalah perjalanan ini.
Saat itu aku berada di tengah kegalauan masa KKN (Kuliah Kerja Nyata). Banyak hal dikejar, banyak pula hal yang dikorbankan. Aku sempat sangat-sangat putus asa hingga mencapai kata menyerah. Tetapi Tuhan Mahatahu, Dia menuntunku. Aku bisa menemukan celah untuk mengejar kesempatan belajar Algebraic Geometry di negeri antah berantah ini. Hingga pada satu pagi tepat di usiaku yang kedua puluh satu, aku menerima surel dari Profesor muda tampan bahwa aku mendapat financial support untuk mengikuti SEAMS (South East Asia Mathematical Society) School di Vietnam Academy of Science and Technology. What a wonderful news!! Aljabar? Mathematical Society? Nothing better. This is all I want, bertemu para matematikawan, bertukar pikiran tentang aljabar. Satu hal yang aku teriakkan dalam hati, "Praise to Allah! It would be my best greatest birthday gift ever!"
Juanda sore hari, sebelum keberangkatan. Abaikan modelnya, dia adalah penumpang tak dikenal. |
Kemudian, segala hal disiapkan secepat kilat. Tiket pesawat, proposal, juga paspor harus dibereskan dalam waktu kurang dari dua minggu (seingetku malah cuma seminggu). Such a huge gift bahwa aku punya seorang mama super yang selalu stand by mengurusi semuanya, mulai dari menggedor-gedor rumah Pak Tinggi (kepala desa) pagi-pagi buta untuk mendapat stempel kelurahan sampai bolak-balik Situbondo-Jember untuk mengurus paspor. Pagi buta atau larut malam aku lupa, pokoknya yang bersangkutan lagi tidur.
Ngapain gedor-gedor rumah Pak Tinggi?
Oh, itu gara-gara namaku di KTP keliru. Di Indonesia sih nggak masalah. Tapi kalau dibawa ke luar negeri, wah bisa-bisa aku dan aku dianggap dua orang yang berbeda.
Ini dia mama sang supermom. Sampai tengah malam tidak beranjak dari musholla Terminal 2 Juanda demi menunggu kabar bahwa putrinya telah sampai di KLIA dan siap take off menuju Hanoi |
Tiket beres. Paspor beres. Selanjutnya adalah mempelajari kondisi negara tujuan. Tujuan utama memang mengikuti short course, tapi aku sudah nawaitu untuk berpetualang. Ya mumpung punya kesempatan berkunjung ke negeri lain, sekalian aja dayung dua perahu. Daripada niat khusus buat jalan-jalan, kan tekor. Karena itulah, aku sengaja tidak mencari tahu dan menghubungi kawan-kawan peserta lain. Aku ingin menjajal petualangan ini sendiri. Ternyata eh ternyata, kawan-kawan dari Indonesia sudah saling berkenalan dan berkoordinasi sejak awal. Mereka pun janjian untuk berangkat dengan pesawat yang sama, sementara aku celingak-celinguk sendiri di dalam kemegahan bandara.
FYI, yang aku takutkan dari keseluruhan perjalanan ini bukanlah tentang bagaimana aku di sana, tetapi bagaimana aku di bandara. Perkara materi kuliah ataupun keadaan asing sama sekali tak kukhawatirkan. Aku justru mengkhawatirkan prosedur apa yang harus aku lewati untuk sampai ke dalam kabin. Ini memang pertama kalinya aku menginjakkan kaki di bandara. Terlebih lagi, melihat pesawat terbang adalah hal yang sangat aku gilai selain menyaksikan atraktifnya kembang api dan balon yang bertubi-tubi. (ketertarikan macam apa ini?!)
Kekhawatiranku pun berbuah. Petugas bandara menyita beberapa barang dari dalam ransel. Perhatian juga bagi para pemula. This is a first lesson of the trip. Dilarang membawa senjata tajam dan bahan-bahan cair lebih dari 100 ml per kemasan, meskipun 'senjata tajam' itu bagimu hanya sebatang alat tulis dan bahan cair itu hanyalah sekantong air putih. Nyatanya, pesan dari petugas keamanan yang mengizinkanku membawa barang-barang itu tidak mempan untuk lolos dari penjaga ruang tunggu.
Setelah lolos dari penerbangan Surabaya-Kuala Lumpur, aku kembali melakukan kekeliruan konyol di Kuala Lumpur International Airport (KLIA). Bandar udara yang satu ini sangatlah besar dan bertingkat-tingkat, sampai-sampai aku bingung di mana entry gate dan di mana lapak untuk check in. (jangan salah, yang satu ini aku benar-benar linglung bukan buatan). Pembagian gate dan check in point yang tertera pada lembaran tiket membuatku hilang arah. Walhasil, aku masuk tanpa memasukkan koperku ke bagasi. Saat itu aku berpikir, "ah, mungkin loket barangnya masih di dalam sana." karena memang jarak check in dan ruang tunggu sangat jauh, beda lantai malah.
Padahal yang namanya check in itu ya sekaligus masukin barang. So, second lesson of the trip: jangan ragu bertanya (pada petugas, bukan pada orang lewat) dan jangan bego di persimpangan loket. Untung di bandara, kalau di terminal bisa-bisa jadi santapan preman. (alay ya?)
Ya sudahlah. Maklum newbie. Tapi aku sudah bayar seratus delapan puluh ribu buat alokasi bagasi. Huhuhuaaaaa.
Kuapok!
Hiks. Berat tauk nyeret-nyeret koper ke kabin yang jaraknya berapa kilo itu.
Namun lagi-lagi Tuhan masih menolong. Beruntung koper ini muat dijejalkan di bagasi kabin. Beruntung muatan yang menurut aturan sudah melebihi batas ternyata tidak mengundang teguran petugas. (kan mampus kalo kopernya gak boleh masuk, terus sayanya disuruh keluar). Beruntung pula raga ini tak nggeblak saat mengangkat koper ke bagasi di atas tempat duduk. Fiuhh.
Perjalanan Kuala Lumpur-Hanoi memakan waktu sekitar tiga jam. Aku sudah duduk di ruang tunggu saat tengah malam dan pesawat yang menerbangkanku akan berangkat saat Shubuh. Nguantuk poll, tapi harus dimelek-melekin biar nggak main drama episode ketinggalan pesawat. Dan di dalam pesawat........ mataku sudah merem-melek......... tak kuasa lagi memberontak dari pejaman. Saat mata setengah terbuka.........
Oh my God? What is that? Pemandangan apa itu?
Langit masih gelap. Dua pertiga masih hitam, sepertiga sudah oranye. Gulungan-gulungan serupa benang wol terlihat rapi membentuk pola. Ada yang seragam, ada yang bergelombang. Tak bisa kugambarkan.
Itu pohon? Impossible, Rendah banget terbangnya kalau itu hutan.
Sebentar. Kok kayak laut? Itu matahari mau terbit. Ini di atas laut.
Inilah foto yang bisa terjepret. Dari langit pada perjalanan pulang. |
Belum juga dapat kesimpulan, diriku segera kehilangan kesadaran--tertidur. Sedikit sadar, aku lawan kantuk yang terlalu keras meronta-ronta.
Heeeh. Itu awaaaaaaan. Subhanallah.... Keren!
Terlelap lagi.
Haduh, bangun! This view is too amazing untuk rela ditinggal tidur.
Namun apalah daya. Beratnya kelopak mata benar-benar di luar kuasa. Kesadaran dan kengantukan terus berperang hebat sampai salah satunya kalah. Mataku baru terbuka saat gradasi warna tadi sudah berubah biru dan putih. Yaaaaah...... Apa boleh buat. Semoga lain waktu Tuhan mengizinkanku menemui pemandangan seperti itu lagi. Sekarang waktunya menginjakkan kaki dan memulai petualangan. Siap???!
Nothing more beautiful than a scenery inside half awakening.
Menembus batas. Foto ini diambil saat menyeberang jalan di Kota Hanoi. Kabut awal musim semi menyelimuti pucuk gedung pencakar langit. |
Pengen naik benda yang digilai selain menyaksikan atraktifnya kembang api dan balon yang bertubi-tubi itu.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Hapus