Langsung ke konten utama

Backpacking ke Saigon City. Day 2.1: Getting Closer with Histories


Senin, 19 Maret 2018

Hari kedua ini diawali dengan perut munek-munek beserta kegalauan hakiki. Tadi malam aku kalap oleh Saigon Halal Food dan memesan makan berat untuk sarapan. Aku lupa bahwa aku mendapat jatah sarapan dari hostel. Ditambah lagi, lambungku masih penuh oleh makanan semalam. Ya Tuhaaaan ampuni hamba, makanan ini mubadzir.

Sementara itu, aku juga mengalami kegalauan luar biasa. Sampai larut aku menimbang-nimbang akan mengunjungi Cu Chi Tunnel atau tidak. Sialnya lagi, aku terserang insomnia, suatu hal yang tak pernah kualami sebelumnya. Padahal aku sangat lelah dan ingin segera tidur. Tempat tidurku pun nyaman. Akan tetapi, mataku tak kunjung mau memejam dan nafasku terasa tak tenang. Hingga dini hari, aku masih krusak-krusuk di atas bantal.


Untuk mencapai Terowongan Cu Chi, pilihan paling efektif adalah bergabung dengan rombongan tur karena letaknya yang cukup jauh dari Distrik 1. Selain bisa ditempuh dalam waktu singkat, tur juga akan mengajak rombongan berkenalan dengan kearifan lokal (dari ceritanya orang-orang di blog sih). Namun karena dari awal memang tidak berniat menyewa tur, aku belum mempersiapkannya. Aku berencana untuk menumpang bus pagi-pagi sekali. Pokoke jauh-jauh tetep takbelani. Aku yakin kunjungan itu akan worth it sekali.
Paginya, kegalauanku belum berakhir. Ternyata, setelah bolak-balik mempelajari rute bus dari google maps, aku membutuhkan waktu sekitar 3,5 jam untuk sekali jalan dengan bus. Waduuuuh, referensi sebelumnya bilang cuma dua jam e. Kuhitung-hitunglah waktu yang kupunya di hari itu. Kalau memilih Cu Chi, destinasi lain harus dikorbankan. Rata-rata tempat yang kuincar tutup di malam hari. Tapi sayang juga kalo nggak ke Cu Chi, ini tempat wisata sejarah paling legendaris. Tapi kalau mengorbankan Cu Chi, aku bisa datengin 3 tempat lain seharian itu. Jadi, pilih satu atau tiga???


Karena kemarin aku ingin kembali ke sungai, aku mengorbankan Cu Chi. Eh tapi....... masih pengen kesana juga. Gimana ya? Haduh, coba dulu deh turun. Untung-untungan aja.

Seperti di Indonesia, bus kota di Saigon mulai beroperasi sekitar jam 6 pagi. Karena itu, aku turun ke lobi pukul enam. Ternyata eh ternyata, hostel masih sangat sepi. Pintu masih ditutup dan tak ada orang terjaga yang bisa ditanya. Aaaaaaah sudahlah, gak rejeki berarti. Aku kembali merebahkan diri dan mencoba memejamkan mata kembali. Semalem gak bisa tidur, ayo sekarang coba ditidur-tidurkan!!!

Sekitar pukul 10, aku mengambil sarapan di hostel dan membungkusnya. Aku memutuskan untuk menjelajahi seisi kota. Tujuan pertama: Independence Palace. Istana yang juga dikenal dengan sebutan Reunification Palace dulunya merupakan istana kepresidenan milik Vietnam Selatan hingga masa Perang Vietnam. Istana ini menjadi situs berakhirnya Perang Vietnam yang ditandai oleh keruntuhan Kota Saigon pada 30 April 1975 ketika tank milik tentara Vietnam Utara menabrak gerbang istana. Dewasa ini, Independence Palace dibuka untuk umum dan menjadi tujuan wisata. 

Kantin untuk pengunjung di sisi kiri istana

Tempat ini ditutup pukul 11 pagi dan akan dibuka kembali pukul 1 siang. Aku tiba di sana saat matahari sudah lebih dari sepenggalah di atas bumi. Duh... anehnya jalan sendiri. Yang lain pada rombongan, gandengan. Aku?? Nggandeng angin!! Hiks. Sekali dua kali aku membuntuti rombongan wisatawan lain. Biar bisa ikut dengerin cerita tour guidenya. Karena ini bangunan bersejarah, gak asik kan kalau cuma bisa lihat kursi-kursinya aja tanpa tau ceritanya? Namun lama kelamaan, aku merasa semakin aneh. Itu turisnya bule semua. Warna saya beda jauh di antara mereka. Karena merasa ditolehin terus, aku pun menyingkir

Selesai berkeliing istana, aku menambah kunjungan ke  War Remnant Museum. Seperti kantor pos kemarin, aku agak ogah-ogahan mengunjungi tempat ini, bukan tujuan utamalah. Aku berpikir bahwa museum di mana-mana ya sama, gitu-gitu aja. Berhubung hari masih panjang, tak ada salahnya juga aku mampir. Letaknya pun hanya setengah kilometer dari istana. Aku pun menjelajahi bangunan empat lantai itu dan menilik cerita sejarah di dalamnya.


Museum sisa perang ini terdiri dari 13 bagian mulai dari koleksi peralatan perang, foto-foto korban, hingga replika rumah tahanan (ini bagian yang paling ngeri). Hal paing mencolok di antara seisi museum ini adalah rekam jejak peristiwa Agent Orange. Agent Orange adalah sejenis herbisida yang merangsang pertumbuhan menjadi cepat (hingga tidak terkendali) pada tumbuhan berdaun lebar hingga tumbuhan itu merontokkan dedaunannya. Selama masa perang Vietnam, Amerika menghujani Kota Saigon dengan Agen Oranye. Tujuan awalnya adalah menghancurkan produksi bahan pangan dan pepohonan yang dimanfaatkan untuk tempat bersembunyi (according to wikipedia).

Lukisan anak-anak untuk mengenang peristiwa Agent Orange

Celakanya, bahan kimia yang disemprotkan lewat udara ini mengandung dioksin yang menyebabkan pertumbuhan dari banyak tipe kanker serta cacat genetis. Pengaruhnya tidak hanya secara fisik, tapi juga secara mental. Saat berada di bagian "Agent Orange in the War", kurasakan beberapa pengunjung asing alias bule yang meneteskan air mata. Mungkin ada di antaranya rasa simpati dan bersalah karena di masa lampau negara mereka termasuk negara-negara penjajah. Meski tidak sampai mbrabak, aku juga merasakan bahwa Agent Orange ini dulunya merupakan peristiwa yang sangat membekas. (Jika kau ingin tahu seperti apa, buka saja image google. Kau akan tahu bagaimana dampak Agent Orange pada penduduk Vietnam ini. Aku sengaja tida memotretnya sama sekali.)

Korban Agent Orange tetap bersemangat melanjutkan kehidupan yang layak dan bahagia
Selain foto-foto korban dan sisa-sisa kejahatan perang, di ruangan ini juga dipajang beberapa sosok janin yang sudah diawetkan. Mereka bahkan tidak sempat hidup untuk melihat negaranya merdeka dan bersih dari racun dioksin. Duhhh...mules sendiri liatnya. Ngeri. Di samping potret yang semuanya ngeri, terdapat satu ruangan yang memamerkan karya-karya anak bangsa korban Perang Vietnam berkenaan dengan Agent Orange. Banyak lukisan-lukisan tentang kekejaman Amerika, tentang harapan mereka, juga tentang keputusasaan. Syukurlah, kini para korban yang masih bertahan bisa melanjutkan hidup dengan baik meski dengan kondisi tubuh tidak sempurna. Mereka belajar membuat pernak-pernik dan menjualnya di museum ini. [day 2 TO BE CONTINUE...]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jernih dan Hitam antara Kabut dan Merah Jambu #2-tamat

Semalam, aku tertidur di awan kelabu. Aku terus berpikir bagaimana jika aku terjatuh padahal aku ingin melihat pelangi. Lalu degup jantungku mengatakan sesuatu. “Tenang gadisku. Kalau kau terjatuh, kau akan terjatuh bersama-sama.”  Benar juga. Sama sekali tak masalah buatku. Tapi aku takut. Bagaimana jika aku terjatuh sebelum sempat menyentuhnya? Bagaimana? Kabut perlahan menipis. Kilau perlahan bercahaya. Apakah ini serangan fajar? Namun warna merah jambu belum memudar. Aku benar-benar tak tahu yang akan terjadi. Aku tak mampu berangan-angan lagi. Tapi kabut perlahan menipis. Aku harus segera bergerak kecuali ingin dihempas angin jahat. Aku mencoba mencari celah.

Bonek Hikers. Part 4: Akhir Cerita Kita

The most favourite spot. Couldn't find a more beautiful yellow flowery field.... Setelah pikiran yang blingsatan ke mana-mana. Setelah keresahan yang mengubun-ubun. Selepas keputusasaan yang nyaris memuncak. PADANG SAVANA....... " Subhanallah......" "Allahu Akbar!" Kami semua jatuh terduduk. Sungguh luar biasa. Rasanya seperti surgaaaaa. Sekitar satu jam sebelum tengah malam kami sampai di padang luas tempat bermalam. Kami duduk sejenak, ingin bergulung-gulung di sana. Di padang inilah para pendaki biasa bermalam. Untuk menuju puncak, perjalanan hanya tinggal satu jam lagi. "Ayo semangat. Tambah sedikit lagi jalannya, kita mendekat ke tenda-tenda lain."  kami pun beranjak. Para calon tetangga membantu mendirikan tenda. Tanpa mengkhawatirkan makan malam, kami langsung menata diri untuk shalat dan beristirahat. Say Hi! Coming back home "Yang mau muncak ntar bangun jam tiga yaaa..."  beberapa memili...

Pantai Kondang Merak

Curly surface from top of a hill Hampir genap setahun, kunjunganku ke Pantai Kondang Merak juga kulakukan pada tahun 2017, tepatnya pada tanggal 8 Maret (cuma postingan ini nih yang tanggalnya tercatat). Aku mengunjungi pantai—yang saat itu sedang sepi—dalam rangka menemani seorang 'kawan dekat' survei lapangan untuk penelitian tugas akhirnya. Nggak tau sih, beneran survei apa modus pengen ngajak jalan-jalan, wkwkwkwk . Great Barrier Reef ala Kondang Merak Berhubung bukan hari libur, pantai sangat sepi, bahkan hampir tidak ada pengunjung yang datang dalam waktu bersamaan. Untuk menuju Kondang Merak, kami tinggal mengikuti jalan ke arah Balekambang, lalu berpisah di sebuah perempatan. Keluar dari jalan raya, medan yang harus dilewati terhitung cukup sulit. Tanjakan-tanjakan berupa tanah berbatu mudah saja membuat pengendara sepeda motor kehilangan keseimbangan. Menurut wikipedia, saat kondisi jalan normal pengunjung bisa menempuh perjalanan dari perempatan ...