Langsung ke konten utama

Backpacking ke Saigon City. Day 1: Melangkahlah!

"If you don't really know what to do, just keep swimming!" ~Dory

Prolog
Attention, please! Please kindly accept my apologize because my posts would be sent not in chronological order. Sebelum postingan ini, seharusnya ada beberapa cerita yang mendahului, yaitu cerita perjalananku di Hanoi. Tanpa Hanoi, aku tidak mungkin menginjakkan kaki di kota Ho Chi Minh. But sorry to say, Hanoi is simply hard to tell. Jadi, nggak papa yaaa, cerita yang ini duluuu.


A journey of a thousand miles begins with a single step. ~Lao Tzu.

Parte 1

Lepas dua minggu diliputi kepenatan kuliah, aku sengaja menambah trip tiga hari ke salah satu kota besar di Vietnam, yaitu Ho Chi Minh City (HCMC) atau Thành phố (kota) Hồ Chí Minh. Dahulu sebelum Perang Vietnam berakhir, Kota Ho Chi Minh bernama Saigon (Sài Gòn). Dengan bersatunya Vietnam Selatan dan Vietnam Utara, nama Saigon City berubah menjadi Ho Chi Minh City, mengulik nama (samaran) founding father Negara Vietnam. Meski nama Saigon sudah tidak resmi, masih banyak nama tempat, perusahaan, maupun buku yang menggunakan nama lama kota ini. Bahkan, inisial Bandara Internasional Tan Son Nhat di HCMC adalah SGN yang berasal dari kata Saigon, bukan HCM yang mengindikasikan HCMC.

Notre Dame Cathedral, katanya mirip Katedral Notre Dame yang ada di Perancis

Berbekal kenekatan yang diberani-beranikan, aku mantap melakukan perjalanan ini sendirian. Aku memesan hostel dengan tipe asrama (biar murah dan lebih terasa petualangannya) untuk kutumpangi selama tiga hari. Dari bandara, aku sengaja memilih bus umum. Bukan kere lho ya, karena yang namanya petualangan, ya di sinilah sensasinya. Berbekal pengetahuan dari google maps, aku menunggu bus bernomor 152 yang akan membawaku menuju Distrik 1, tempat tujuan segala jenis backpacker dari penjuru dunia. Referensi selengkapnya tentang transportasi akan kutulis di halaman tersendiri, coming so soon (hopefully).

Meski jalan rayanya berantakan, setiap sudut Vietnam selau diseimbangkan dengan sejuknya taman

Aku menemukan 'gua' tempatku berteduh setelah menelusuri gang-gang sempit ala kos-kosan di sekitar kampus. Karena sebelumnya penerbanganku lemot, aku tiba di luar batas perkiraan waktu. Sesampainya di kamar, aku beristirahat cukup lama. Referensi hostel juga dibuat di judul terpisah yaaa, tunggu saja. Hingga lepas Ashar, aku segera beranjak karena berpikir akan semakin membuang waktu.


Pukul 4 di Ho Chi Minh City terhitung masih panas. Kurang lebih selama setengah jam aku menunggu bus yang bisa membawaku ke perhentian pertamaku: Notre Dame Cathedral. Kupikir semua bus akan berhenti di setiap halte, ternyata kita masih perlu melambaikan tangan untuk menyetop. Saat hendak turun pun, kita masih perlu berseru, "kiri bang!" meskipun tersedia tombol untuk memberitahu sopir bahwa kita akan turun. 

Saigon Central Post Office, dari depan
Saigon Central Post Office, dari dalam

Sampai di pemberhentianku, aku perlu berjalan sedikit. Bangunan-bangunan sepanjang jalan sangatlah indak, berbeda dengan yang ada di daerah pemukiman yang cenderung kumuh. Arsitekturnya bergaya Perancis. Berasa di Eropa!!! Lalu, aku baru ingat. Katedral ini terletak bersebelahan dengan kantor pos tertua di Vietnam: Saigon Central Post Office (Bưu điện Thành phố Hồ Chí Minh). Awalnya, aku tidak tertarik meskipun banyak ulasan yang menceritakan kantor pos ini. Aku hanya tertarik melihat-lihat katedralnya karena kupikir akan lebih megah dari St. Joseph Cathedral yang pernah kukunjungi di Hanoi dua tahun lalu. Bagaimana dengan kantor pos? 'Ah..... hanya kantor pos tua. Ternyata aku salah. Ternyata Allah menuntunku kesini tak lain untuk menunjukkanku kantor pos ini. Ternyata......

Waaaaah.....


nyampek...enggak....nyampek....enggak.... Bismillah nyampek!
 
I was so excited. Kantor pos ini sangat megah. Masih bergaya Perancis, bangunan yang memang peninggalan Perancis ini merupakan bangunan terbaik yang kukunjungi. Aku berkeliling mengamati setiap sudutnya. Aku memang suka hal-hal berbau 'surat' dan 'kuno' semacam ini. Hmmm, mulai banyak juga wanita berhijab di sini. Nggak kayak di daerah hostel yang isinya bule semua. Mereka pada nginep dimana yaaaa. Di bangunan utama, kita bisa melihat aktivitas pengepakan paket dan pengiriman surat. Selain itu, berbagai jenis cendera mata juga tersedia untuk dibeli. Melihat harga yang cukup terjangkau, aku mencoba mengirim kartu pos ke Indonesia. Entah akan sampai atau tidak, yang penting ngirim aja. Selembar kartu pos dihargai VND 5000 atau sekitar IDR 3000. Untuk mengirim surat ke Indonesia hanya memerlukan satu lembar perangko seharga VND 11000 atau sekitar IDR 6600 saja. Aku membeli beberapa kartu pos dan mengirimkan dua di antaranya.
_________

Pos satpamnya aja kayak di negeri dongeng, ya kan?!
Little Paris di Ho Chi Minh, katanya


Parte 2
Hari mulai beranjak petang. Sekali lagi aku menyapukan pandangan ke seluruh sudut, mengucapkan selamat tinggal pada bangunan ajaib ini. Tujuanku selanjutnya adalah maghriban di Masjid Musulman. Dengan jarak kurang dari setengah kilometer dari tempatku berdiri, masjid ini merupakan masjid terdekat dari pusat kota. Baru sekitar setengah jalan, tunggu dulu, aku teringat sesuatu. Ada satu tempat penting lain yang terlupa: Ho Chi Minh City Hall atau People's Committee. Balai kota tempat berdirinya patung Paman Ho ini merupakan tujuan wajib jika berkunjung ke Saigon City. Untungnya, City Hall dan masjid yang akan kukunjungi letaknya sejalan. 


Jalanan masih normal, belum grusah grusuh


Mentari senja berangsur-angsur menutup matanya ketika aku sampai di kawasan balai kota. Hari yang lelah segera ditutup dengan gemerlapnya dunia malam. Sepanjang jalan, aku tidak lagi berada di Asia Tenggara. Aku merasa seperti berada di jalanan Inggris. Kombinasi jalan, taman, pepohonan, serta arsitektur bangunan membuatku lupa dengan kumuh dan sumpeknya Hanoi, kota di mana aku masih berada di sana pagi tadi. Subhanallah, ternyata ada tempat yang begitu indah di negara ini selain danau-danaunya yang romantis. Aku memuaskan mata dan hatiku di jalanan itu. Aku sangat bersyukur tidak melewatkan perjalanan ini karena meski sesaat, momentum inilah yang terbaik dari sepanjang hari aku di sana.


Say hello to Uncle Ho!!
Dulu, patung Paman Ho mengambil posisi duduk dan memeluk seorang anak perempuan. Setelah dipugar, Paman Ho berganti posisi untuk berdiri dan mengangkat tangan.


Setelah puas mengambil gambar (tentunya tidak ada gambar diri karena tidak ada yang motoin), aku memacu langkah mencari masjid. Hal pertama yang nampak oleh mataku adalah barisan lampu neon merah bertuliskan "Saigon Halal Food". Huwaaaaaaaaaaa, luaparrr ya Tuhaaaaannnn....!!!! Aku benar-benar sudah lemas. Sejak dari Hanoi, lambungku belum disusupi sebutir nasi pun. Hanya sebatang jagung yang mampir sebentar saat menunggu di bandara. Aku tiba di masjid sesaat sebelum adzan maghrib berkumandang. Subhanallah..... berapa lama gak denger adzan. Ya Allah merdunyaaaa...... Kangen....!!!!

Usai shalat, aku melakukan kewajiban kedua: mampir di Saigon Halal Food. Kutengok sedikit harganya, mirip Halal Food di Hanoi. Seporsi makan berat dibanderol seratus ribuan, atau sekitar 60 ribu rupiah. Tak apalah..... yang penting worth it. Di sebelah gerbang masjid, ada pedagang kaki lima menjual roti dan eskrim halal. Wah harus coba nih! 

"Is there any empty space?" aku bertanya karena kulihat restoran halal ini sudah penuh. Ada satu atau dua meja, tapi tak ada kursi.

Kenampakan masjid dari jalan raya
Kenampakan masjid dari halaman bawah

"Untuk berapa orang?" sang pelayan bertanya. Lohhh masss, kok bahasa Indonesia? Emang tau gitu kalo saya ras melayu? Ya udah kelihatan kali ya, hihihi. I was shocked karena pertanyaanku dibalas dengan bahasa melayu. Usut punya usut, banyak pendatang dari Malaysia yang berkunjung ke kota ini. Bahkan, para pedagang di pasar pun kerap menawarkan dagangannya dengan mata uang Ringgit.

Pedagang roti dan eskrim halal di sebelah gerbang masjid
Untuk makanannya sendiri standart sih. Porsinya gede, rasanya biasa aja. Yang membuatku terpesona ya pelayanannya. Maklum, biasanya makan di kakilima pinggir jalan, belum pernah makan di restoran bintang! Selama makan, ada satu, kadang dua orang pelayan yang berdiri menunggui. RIsih emang, tapi mereka harus standby barangkali pelanggan membutuhkan sesuatu. Selain itu, seorang mas-mas muda juga sekali dua kali berkunjung ke meja dan menyapa pelanggan. Inih kalo bukan mandor, ya si empunya! Penampilannya rapi dan ramah, menanyakan how everything's going. Kutaksir memang dia pemiliknya. Duhhh gini ya rasanya makan sendirian di restoran mahal.

E.....lah....dalah.... Melayu!

Selesai makan, aku kembali ke masjid untuk menunaikan shalat Isya. Barangkali di kamar sudah ada penghuni lain, kan bakal gak nyaman shalatnya. Jadi sekalian aja shalat dulu, mumpung masih di masjid. Karena sudah lewat waktu Shalat berjamaah, pintu masjid sudah separo ditutup. Lampu-lampu juga suda dimatikan. Maklum, Vietnam adalah negara komunis. Pemerintahnya anti demokrasi. Mereka tidak mengizinkan adanya komunitas atau kegiatan-kegiatan keorganisasian. Karena itu, tempat ibadah pun murni digunakan untuk ibadah saja. Tidak ada pengajian ataupun kumpul-kumpul sore. Mungkin mereka khawatir dengan perkumpulan-perkumpulan semacam ini. Hikmahnya, kalau mau sembahyang dengan aman, ya datanglah tepat waktu, tepat ketika adzan baru berkumandang.

Surga dunia, ya nggak?
Kesempatan makan dengan baik adalah anugerah terindah, benar?

Selesai urusan di masjid, aku tidak langsung pulang. Aku batal mencicipi eskrim. My stomach was already full. Lagipula yang jual juga sudah pergi. Karena jaraknya sangat dekat, aku mencoba melihat-lihat Sungai yang tampak menarik jika dilihat dari google maps. Kelihatannya ada sesuatu yang menarik di sana.....

Namun berhubung hari sudah semakin malam, aku segera pulang. Ntar ketinggalan bis terakhir. Aku akan kembali untuk hal menarik itu besok. Lagi-lagi dengan bantuan google, aku menuju halte yang tepat untuk mencari bis yang membawaku pulang. Tapi........aku hilang arah.

Nasi goreng dan teh susu yang kupesan sebagai pemadam kelaparan

Ini haltenya yang sebelah sini apa yang seberangnya ya? Bisnya yang ke arah sini atau sana ya?

Aku hilang arah. Bertanya pun tak ada yang mengerti maksudku. Aku berjalan lagi untuk mencari halte yang lain yang lebih jelas. Namun akhirnya aku ragu. 

Udah ah, daripada kelamaan, nyasar lagi, mending ngegrab aja!

Dan petualangan hari itu tak sepenuhnya sempurna karena akhirnya aku meminta bantuan grabbike untuk mengantarku pulang..... [day 1 END]



GALERI FOTO:
 
Add caption

Masih dalam suasana tahun baru China
Cerita sejarah di sepanjang trotoar

Menulis surat untuk dikirim ke tanah air masing-masing
Arsitektur ATM pun dibangun sedemikian rupa bergaya Eropa kuno
Aktivitas mengirim surat di loket-loket pengiriman surat
Aktivitas jual beli cendera mata dan kartu pos di bangunan utama kantor pos


 
Hal-hal yang kusuka dari negeri seberang ini adalah banyaknya taman dan bunga









 





 


Kediaman patung Paman Ho yang sejuk karena dikelilingi taman penuh dengan tanaman kamboja
 
Bangunan istana atau People's Committee

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jernih dan Hitam antara Kabut dan Merah Jambu #2-tamat

Semalam, aku tertidur di awan kelabu. Aku terus berpikir bagaimana jika aku terjatuh padahal aku ingin melihat pelangi. Lalu degup jantungku mengatakan sesuatu. “Tenang gadisku. Kalau kau terjatuh, kau akan terjatuh bersama-sama.”  Benar juga. Sama sekali tak masalah buatku. Tapi aku takut. Bagaimana jika aku terjatuh sebelum sempat menyentuhnya? Bagaimana? Kabut perlahan menipis. Kilau perlahan bercahaya. Apakah ini serangan fajar? Namun warna merah jambu belum memudar. Aku benar-benar tak tahu yang akan terjadi. Aku tak mampu berangan-angan lagi. Tapi kabut perlahan menipis. Aku harus segera bergerak kecuali ingin dihempas angin jahat. Aku mencoba mencari celah.

Bonek Hikers. Part 4: Akhir Cerita Kita

The most favourite spot. Couldn't find a more beautiful yellow flowery field.... Setelah pikiran yang blingsatan ke mana-mana. Setelah keresahan yang mengubun-ubun. Selepas keputusasaan yang nyaris memuncak. PADANG SAVANA....... " Subhanallah......" "Allahu Akbar!" Kami semua jatuh terduduk. Sungguh luar biasa. Rasanya seperti surgaaaaa. Sekitar satu jam sebelum tengah malam kami sampai di padang luas tempat bermalam. Kami duduk sejenak, ingin bergulung-gulung di sana. Di padang inilah para pendaki biasa bermalam. Untuk menuju puncak, perjalanan hanya tinggal satu jam lagi. "Ayo semangat. Tambah sedikit lagi jalannya, kita mendekat ke tenda-tenda lain."  kami pun beranjak. Para calon tetangga membantu mendirikan tenda. Tanpa mengkhawatirkan makan malam, kami langsung menata diri untuk shalat dan beristirahat. Say Hi! Coming back home "Yang mau muncak ntar bangun jam tiga yaaa..."  beberapa memili...

Pantai Kondang Merak

Curly surface from top of a hill Hampir genap setahun, kunjunganku ke Pantai Kondang Merak juga kulakukan pada tahun 2017, tepatnya pada tanggal 8 Maret (cuma postingan ini nih yang tanggalnya tercatat). Aku mengunjungi pantai—yang saat itu sedang sepi—dalam rangka menemani seorang 'kawan dekat' survei lapangan untuk penelitian tugas akhirnya. Nggak tau sih, beneran survei apa modus pengen ngajak jalan-jalan, wkwkwkwk . Great Barrier Reef ala Kondang Merak Berhubung bukan hari libur, pantai sangat sepi, bahkan hampir tidak ada pengunjung yang datang dalam waktu bersamaan. Untuk menuju Kondang Merak, kami tinggal mengikuti jalan ke arah Balekambang, lalu berpisah di sebuah perempatan. Keluar dari jalan raya, medan yang harus dilewati terhitung cukup sulit. Tanjakan-tanjakan berupa tanah berbatu mudah saja membuat pengendara sepeda motor kehilangan keseimbangan. Menurut wikipedia, saat kondisi jalan normal pengunjung bisa menempuh perjalanan dari perempatan ...