Photo by Kak Ari, tanpa diminta fotonya udah bagus sendiri Lokasi: Jalan Alor, surganya pemadam kelaparan.. |
Oi oi, naskah ini sudah mengendap selama dua tahun. Dua tahun!!!! Banyak kendala untuk menyelesaikan part terakhir ini. Ada-ada aja pokoknya. Mulai dari bingung kontennya apa karena kalau diisi curhatan aja jadi nirfaedah banget. Tapi mau diisi petunjuk buat referensi perjalanan, juga aku nggak hafal arah-arah jalannya. Waktu itu mah ngikut-ngikut aja, toh gapunya peta. Terus mau diisi ulasan bebas—apa aja pokoknya nulis—eh malah baper dan gualau banget nginget kenangannya. Udah, daripada baper tambah mewek terus berantem sama orang gak bersalah (yang waktu itu memang kejadian, sementara dia gak tau apa-apa), mending kupending lagi draft ini. Sampai pada pekan ini, bagus nggak bagus judul ini harus terbit!! Kenapa buru-buru?? Yaaaaaa harus terbit sebelum ditubruk sama penjelajahan yang baru. (spoiler nich!)
_________
Sabtu, 12 Maret 2016. Demi memanfaatkan waktu, kesempatan, dan ongkos perjalanan, aku sengaja memilih jadwal pesawat dengan jeda selama dua hari satu malam di Malaysia. Sekitar pukul tujuh, 8 pasukan Indonesia dan satu pasukan Kamboja berangkat menuju bandara. Sempat terjadi kepanikan pada keberangkatan ini. Selain mobil jemputan yang terlambat datang, kepanikan juga disebabkan oleh seorang kawan yang tak sengaja tertidur.
Aku dan empat kawan yang menuju Pulau Jawa berada dalam penerbangan yang sama. Dua lainnya telah berpisah di bandara internasional Hanoi. Menjelang siang hari, kami sampai di Kuala Lumpur International Airport (KLIA 2). Dua orang segera terbang melanjutkan perjalanan menuju tanah air. Dua
lainnya masih bersama denganku, berniat singgah di tanah melayu.
Pasukan setanah air sesaat sebelum berangkat menuju Noibai International Airport Hanoi (minus satu gadis lagi yang tinggal di penginapan berbeda) |
Kesengajaanku memilih tiket pesawat ini sebenarnya hanya bermodal kenekatan. Aku sok berani ingin berpetualang sendiri di negeri orang. Bahkan aku memilih keberangkatan dari Kuala Lumpur menuju Surabaya pukul 11 malam, dengan bayangan bisa berjalan-jalan sepuasnya hingga malam. Saat itu aku memang sengaja tidak mencari tahu dan ataupun berkenalan dengan peserta-peserta dari tanah air. Hanya sedikit berharap ada kawan Indonesia atau Malaysia yang bisa diajak serta. Beruntung tingkat dewa, seorang kawan dari Semarang juga memiliki rencana yang sama. Aku pun tenang. Lebih asyiknya lagi, seorang mahasiswi ITB asal Lombok juga memiliki jeda keberangkatan lumayan lama, meskipun tidak sampai menginap. Jadilah kita berpetualang bertiga.
Berbeda denganku, rupanya Kakak dari Semarang ini lebih prepare. Dia sudah membawa peta Kuala Lumpur berikut jalur-jalur transportasinya. Sedangkan aku hanya mencatat destinasi-destinasi dan penginapan yang terjangkau dengan bersumber videoblog dari youtube. Itupun hilang, dan kami tidak menemukan jenis penginapan yang diharapkan. Berbekal selembar peta tersebut, kami mengatur perjalanan.
Tujuan pertama setelah keluar dari bandara adalah KL Sentral. Kalau dilihat di peta, KL Sentral itu ibarat inti pada sel saraf yang memiliki banyak dendrit bagi kalian yang familier dengan ilmu biologi atau hub pada topologi star bagi kalian yang familier dengan jaringan komputer. KL Sentral merupakan tempat transitnya berbagai transportasi dari bermacam daerah. Banyak cara untuk mencapai KL Sentral dari KLIA 2, di antaranya dengan menumpang kereta KL Express, KL Transit, atau bus. Untuk sekali jalan, KL Express dan KL Transit membutuhkan sekitar MYR 35 (Malaysian Ringgit, 1 Ringgit setara dengan Rp3.440 berdasarkan kurs Januari 2018 saat tulisan ini mulai ditulis). Bedanya, KL Express akan membawamu langsung menuju KL Sentral dalam waktu 30 menit tanpa berhenti, sedangkan KL Transit akan mengajakmu berhenti di 3 stasiun. Jika menarget anggaran lebih murah, kita bisa menumpang bus dengan tarif sekitar MYR 11 dalam waktu antara 45 menit hingga 1 jam. Menimbang perbandingan waktu yang tidak terlalu jauh, kami memilih berhemat dengan menumpang bus saja.
Selain mencari transportasi, kita juga bisa mencari sumber energi di KL Sentral. Untuk menutupi lapar yang sudah hadir sejak kami masih di bandara, kami segera mencari makan berat yang tidak terlalu asing dengan lidah kami. Setelahnya, kami langsung menuju Bukit Bintang menggunakan monorel. Sebagai pengamat transportasi amatir (apanya yang diamati ya), aku cukup terkesan dengan sistem monorel yang diterapkan di ibukota negeri jiran ini. Segalanya serba otomatis dan teratur. Di stasiun, kami membeli tiket melalui sebuah konter yang bentuknya seperti mesin ATM. Cukup dengan MYR 2.5, aku mendapatkan semacam koin plastik berwarna merah sebagai tiket masuk dan keluar monorel sesuai tujuan yang telah kubayar.
Tujuan pertama sesampainya di Bukit Bintang adalah mencari penginapan. Kami mendapat penginapan tepat di Jalan Alor. Jalan Alor merupakan pusat wisata kuliner jalanan alias street food yang sangat ramai di malam hari. Beragam jenis makanan dijajakan di sepanjang jalan ini. Di sana aku menemukan dua pedagang asal Indonesia. Yang satu menyajikan masakan Indonesia, satu lagi menjajakan Pot Ice Cream. "Bude" penjual es krim pot ini sangat ramah dan suka "pdkt" dengan pengunjung dari tanah air. Kami ditraktir makanan Timur Tengah (lupa namanya) yang dijual oleh penjual di dekatnya. Beliau juga banyak mengajak ngobrol dan memberikan nomor ponselnya (sayang ponselku rusak, kontaknya sudah hilang). Jika aku berkunjung ke Kuala Lumpur lagi, aku pasti akan mengunjungi stan beliau dan menyapanya.
Menjelang petang, kami berjalan kaki menuju Petronas Twin Tower. Katanya bangunan ini adalah bangunan tertinggi dan wajib disinggahi (baca: diajak selfie) bagai syarat jika berkunjung ke Malaysia. Setelah berfoto-foto di bawah menara kembar, kami mengantar satu kawan kami ke stasiun monorel terdekat. Penerbangannya kembali ke Indonesia akan lepas landas malam itu, berbeda denganku yang harus menginap dulu.
Keesokan harinya, kami mencari-cari jalan menuju Chocolate Kingdom. Kalau di Jawa, Chocolate Kingdom ini seperti Kampung Coklat yang ada di Blitar. Bedanya, Kampung Coklat Blitar jauh lebih besar dan lebih variatif dalam hal "wahana" dan macam produknya. Di Kampung Coklat, kita tak hanya menemui coklat bubuk atau coklat batang, tetapi juga es coklat, mie coklat, nasi coklat, pie coklat, dan banyak lainnya. Chocolate Kingdom hanya sebuah toko khusus yang menjual banyak jenis coklat mulai dari coklat mentahan sampai coklat untuk souvenir. Khusus untuk jenis coklat, Chocolate Kingdom menyediakan jauh lebih banyak jenis coklat (dan semuanya mahalll untuk ukuran kantong mahasiswa T_T)
Sebelum Dhuhur, kami segera berkemas untuk check out dan berangkat kembali ke bandara. Kami bergegas karena kawanku akan terbang sore hari. Aku gimana? Pesawatku masih berangkat jam 10 malam nanti!!! T_T. Tadinya, aku sengaja memilih keberangkatan agak 'terlambat' dengan rencana ingin menikmati plesir lebih lama, Nyatanya, aku berpikir akan tersasar jika berangkat sendiri dari Bukit Bintang ke KL Sentral (padahal rutenya gampang sih). Dengan kecemasan itu, aku pun memilih ikut berangkat siang hari dan merelakan diri mbambong di bandara selama hampir 10 jam......
__________
Kak Putri, mahasiswi ITB asal Lombok Lokasi: Petronas Twin Tower Kuala Lumpur |
Tujuan pertama setelah keluar dari bandara adalah KL Sentral. Kalau dilihat di peta, KL Sentral itu ibarat inti pada sel saraf yang memiliki banyak dendrit bagi kalian yang familier dengan ilmu biologi atau hub pada topologi star bagi kalian yang familier dengan jaringan komputer. KL Sentral merupakan tempat transitnya berbagai transportasi dari bermacam daerah. Banyak cara untuk mencapai KL Sentral dari KLIA 2, di antaranya dengan menumpang kereta KL Express, KL Transit, atau bus. Untuk sekali jalan, KL Express dan KL Transit membutuhkan sekitar MYR 35 (Malaysian Ringgit, 1 Ringgit setara dengan Rp3.440 berdasarkan kurs Januari 2018 saat tulisan ini mulai ditulis). Bedanya, KL Express akan membawamu langsung menuju KL Sentral dalam waktu 30 menit tanpa berhenti, sedangkan KL Transit akan mengajakmu berhenti di 3 stasiun. Jika menarget anggaran lebih murah, kita bisa menumpang bus dengan tarif sekitar MYR 11 dalam waktu antara 45 menit hingga 1 jam. Menimbang perbandingan waktu yang tidak terlalu jauh, kami memilih berhemat dengan menumpang bus saja.
Rute perjalanan sekitar KL Sentral Sumber: www.klsentral.com.my/conn_main.aspx |
Selain mencari transportasi, kita juga bisa mencari sumber energi di KL Sentral. Untuk menutupi lapar yang sudah hadir sejak kami masih di bandara, kami segera mencari makan berat yang tidak terlalu asing dengan lidah kami. Setelahnya, kami langsung menuju Bukit Bintang menggunakan monorel. Sebagai pengamat transportasi amatir (apanya yang diamati ya), aku cukup terkesan dengan sistem monorel yang diterapkan di ibukota negeri jiran ini. Segalanya serba otomatis dan teratur. Di stasiun, kami membeli tiket melalui sebuah konter yang bentuknya seperti mesin ATM. Cukup dengan MYR 2.5, aku mendapatkan semacam koin plastik berwarna merah sebagai tiket masuk dan keluar monorel sesuai tujuan yang telah kubayar.
Ini Kak Ari, dosen UGM Departemen Matematika |
Tujuan pertama sesampainya di Bukit Bintang adalah mencari penginapan. Kami mendapat penginapan tepat di Jalan Alor. Jalan Alor merupakan pusat wisata kuliner jalanan alias street food yang sangat ramai di malam hari. Beragam jenis makanan dijajakan di sepanjang jalan ini. Di sana aku menemukan dua pedagang asal Indonesia. Yang satu menyajikan masakan Indonesia, satu lagi menjajakan Pot Ice Cream. "Bude" penjual es krim pot ini sangat ramah dan suka "pdkt" dengan pengunjung dari tanah air. Kami ditraktir makanan Timur Tengah (lupa namanya) yang dijual oleh penjual di dekatnya. Beliau juga banyak mengajak ngobrol dan memberikan nomor ponselnya (sayang ponselku rusak, kontaknya sudah hilang). Jika aku berkunjung ke Kuala Lumpur lagi, aku pasti akan mengunjungi stan beliau dan menyapanya.
Ini nggak tau siapa, malah milih foto di pinggir jalan. Dilarang parkir!!! |
Menjelang petang, kami berjalan kaki menuju Petronas Twin Tower. Katanya bangunan ini adalah bangunan tertinggi dan wajib disinggahi (baca: diajak selfie) bagai syarat jika berkunjung ke Malaysia. Setelah berfoto-foto di bawah menara kembar, kami mengantar satu kawan kami ke stasiun monorel terdekat. Penerbangannya kembali ke Indonesia akan lepas landas malam itu, berbeda denganku yang harus menginap dulu.
Keesokan harinya, kami mencari-cari jalan menuju Chocolate Kingdom. Kalau di Jawa, Chocolate Kingdom ini seperti Kampung Coklat yang ada di Blitar. Bedanya, Kampung Coklat Blitar jauh lebih besar dan lebih variatif dalam hal "wahana" dan macam produknya. Di Kampung Coklat, kita tak hanya menemui coklat bubuk atau coklat batang, tetapi juga es coklat, mie coklat, nasi coklat, pie coklat, dan banyak lainnya. Chocolate Kingdom hanya sebuah toko khusus yang menjual banyak jenis coklat mulai dari coklat mentahan sampai coklat untuk souvenir. Khusus untuk jenis coklat, Chocolate Kingdom menyediakan jauh lebih banyak jenis coklat (dan semuanya mahalll untuk ukuran kantong mahasiswa T_T)
Ini siapa ya rame-rame? oooh....ini beberapa peserta SEAMS School dari Indonesia, Filipina, dan Vietnam saat plesir |
Sebelum Dhuhur, kami segera berkemas untuk check out dan berangkat kembali ke bandara. Kami bergegas karena kawanku akan terbang sore hari. Aku gimana? Pesawatku masih berangkat jam 10 malam nanti!!! T_T. Tadinya, aku sengaja memilih keberangkatan agak 'terlambat' dengan rencana ingin menikmati plesir lebih lama, Nyatanya, aku berpikir akan tersasar jika berangkat sendiri dari Bukit Bintang ke KL Sentral (padahal rutenya gampang sih). Dengan kecemasan itu, aku pun memilih ikut berangkat siang hari dan merelakan diri mbambong di bandara selama hampir 10 jam......
__________
Komentar
Posting Komentar