Langsung ke konten utama

Bimbingan Belajar: Langkah Keberhasilan atau Kegagalan Pendidikan?


sumber gambar: www.google.com/gambar-orang-mengajar

Dua Mei sudah berlalu dari tanggalan, membawa sisa-sisa aksi yang menggugat sistem pendidikan dengan segala ornamennya. Dalam tulisan ini, saya tidak ikut-ikutan menggugat. Saya hanya ingin menyampaikan, apa ya namanya, kegelisahan mungkin. Kegelisahan ini sudah hadir sejak lama bahkan jauh sebelum saya memulai kiprah di dunia bimbingan belajar tiga tahun lalu. Akan tetapi, baru sekaranglah saya tergerak untuk menuliskannya, setelah tak lama berbincang-bincang dengan seorang kenalan baru dalam bus jurusan Malang-Probolinggo dua hari lalu.

Obrolan tersebut diawali dengan sebuah pertanyaan, “Kenapa les seolah menjadi hal yang wajib? Dulu jaman saya sekolah, ndak ada tuh yang butuh les.”

Ya, memang benar. Saat saya masih belajar di Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP), les masihlah menjadi kebutuhan luar biasa.

“Mamaknya anak-anak itu terlalu takut anaknya jadi goblok. Maunya dileskan terus. Lha tapi kan anak bosen. Anak SD itu masih masanya bermain-main. Saya saja males belajar, ya saya juga ndak maksa anak saya bisa rajin. Toh selama les juga ndak ada peningkatan sama sekali.” ujar pria kurus di sebelah saya.

Pernyataan itu juga benar adanya. Tidak semua anak rela dan ikhlas waktunya dihabiskan untuk les. Beda halnya dengan saya yang memang suka dengan hal-hal akademis. Masih SMP maunya belajar materi SMA. Masih SMA inginnya bertemu dosen.  Mungkin dari satu sekolah berisi seribu siswa, hanya lima yang berkeinginan seperti itu. 

Hal yang ingin saya sampaikan di sini bukanlah tentang peran dan keputusan orang tua untuk memasukkan anaknya pada bimbingan belajar, melainkan tentang sekolah itu sendiri. Belakangan, les privat dan bimbingan belajar menjadi tren tersendiri bagi siswa dan wali siswa di Indonesia. Saya belum melakukan survey secara benar untuk memperoleh datanya, namun bisa saya katakan bahwa lebih dari 60 persen siswa sekolah menengah mengikuti bimbingan belajar di luar sekolah. Beberapa di antaranya justru mengikuti bimbingan untuk lebih dari tiga mata pelajaran. (Kok jadi kepikiran buat penelitian skripsi ya? Untungnya sudah selesai skripsian, jadi sudah tidak perlu cari-cari topik lagi.)

Selain menjadi tren, bimbingan belajar sudah menjadi kebutuhan pokok. Bahkan, para pendidik pun dengan pede mengatakan bahwa belajar di sekolah saja tidak cukup. Pertanyaan saya, di manakah program wajib belajar itu? Tanggapan saya, belajar di sekolah memang tidak cukup. Siswa harus dilepas untuk belajar di lingkungan masyarakat. Sayangnya yang termaksud di sana, kecukupan itu harus diperoleh di lembaga bimbingan belajar, bukan di lingkungan.

Banyak alasan yang mendasari siswa dan wali siswa untuk mengikuti les, di antaranya kesulitan memahami materi di sekolah, kesibukan siswa sehingga banyak ambil jatah dispen (dispensasi), atau ketidakmauan belajar jika tidak ada yang menemani sementara orang tua sibuk bekerja.

Untuk alasan ketiga, hal ini menjadi masalah orang tua. Untuk alasan kedua, memang les merupakan solusi terbaik untuk membantunya. Akan tetapi untuk alasan pertama, hal ini menjadi masalah dalam dunia pendidikan yang saya pertanyakan. Ironisnya, di luar ketiga alasan tersebut masih ada beberapa alasan yang sebenarnya tak perlu dikhawatirkan, seperti ketakutan orang tua jika nilai anaknya jeblok atau gengsi orang tua terhadap kawan-kawannya yang mendidik anaknya lewat bimbel nomor satu.

Tak jarang pula siswa-siswa yang mengikuti les sebenarnya sudah pintar dan tidak membutuhkan tambahan. Di sisi lain, ada juga siswa yang benar-benar tidak tahu pelajaran apa yang diajarkan di sekolah. Toh nanti sore ada les. PR-PR bisa dikerjakan oleh guru les, begitu pikirnya. Padahal, sudah menjadi tugas sekolah untuk membimbing dan mendidik siswa-siswanya hingga mencapai kompetensi tertentu yang ditargetkan. Para guru harus melihat apakah seluruh siswanya—bukan hanya siswa terpintar saja—sudah mampu menyerap pelajaran dengan baik. Bimbingan tambahan memang diperlukan apabila siswa tersebut memang memiliki kebutuhan yang khusus dan sangat khusus. Akan tetapi, jika lebih dari sepertiga siswa mengikuti les tambahan di luar jam sekolah, bisakah kita katakan bahwa sekolah tersebut tidak berhasil? Saya sebagai tentor les senang-senang saja jika punya banyak murid. Masalahnya, banyaknya murid dalam bimbingan belajar menunjukkan bahwa sekolah-sekolah ini tidak mampu memberikan pendidikan yang tuntas terhadap anak didiknya. Kalau begini, kenapa tidak sekalian homeschooling saja? Lebih totalitas, lebih full, dan tidak perlu ribet-ribet ikut aturan sekolah.

Di samping itu, kebutuhan siswa terhadap guru les juga mendorong munculnya lembaga-lembaga les instan yang tak mengantongi izin resmi. Tak pelak, banyak tentor abal-abal yang sekadar memenuhi jam tanpa punya standar. Lembaga abal-abal pun banyak yang merekrut tentor tanpa bertatap muka dengan tentor itu sendiri. Jangankan kualifikasi dan kemampuannya, wajah saja tidak tahu. Yang penting bayaran wali murid masuk, lembaga tinggal transfer separo nominalnya ke rekening tentor. Nah kalau begini, apa hasil yang dicapai dari bimbingan belajar? Bukan hanya sekolah saja yang bobrok. Bimbingan belajar pun jadi ikut-ikutan bobrok.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jernih dan Hitam antara Kabut dan Merah Jambu #2-tamat

Semalam, aku tertidur di awan kelabu. Aku terus berpikir bagaimana jika aku terjatuh padahal aku ingin melihat pelangi. Lalu degup jantungku mengatakan sesuatu. “Tenang gadisku. Kalau kau terjatuh, kau akan terjatuh bersama-sama.”  Benar juga. Sama sekali tak masalah buatku. Tapi aku takut. Bagaimana jika aku terjatuh sebelum sempat menyentuhnya? Bagaimana? Kabut perlahan menipis. Kilau perlahan bercahaya. Apakah ini serangan fajar? Namun warna merah jambu belum memudar. Aku benar-benar tak tahu yang akan terjadi. Aku tak mampu berangan-angan lagi. Tapi kabut perlahan menipis. Aku harus segera bergerak kecuali ingin dihempas angin jahat. Aku mencoba mencari celah.

Bonek Hikers. Part 4: Akhir Cerita Kita

The most favourite spot. Couldn't find a more beautiful yellow flowery field.... Setelah pikiran yang blingsatan ke mana-mana. Setelah keresahan yang mengubun-ubun. Selepas keputusasaan yang nyaris memuncak. PADANG SAVANA....... " Subhanallah......" "Allahu Akbar!" Kami semua jatuh terduduk. Sungguh luar biasa. Rasanya seperti surgaaaaa. Sekitar satu jam sebelum tengah malam kami sampai di padang luas tempat bermalam. Kami duduk sejenak, ingin bergulung-gulung di sana. Di padang inilah para pendaki biasa bermalam. Untuk menuju puncak, perjalanan hanya tinggal satu jam lagi. "Ayo semangat. Tambah sedikit lagi jalannya, kita mendekat ke tenda-tenda lain."  kami pun beranjak. Para calon tetangga membantu mendirikan tenda. Tanpa mengkhawatirkan makan malam, kami langsung menata diri untuk shalat dan beristirahat. Say Hi! Coming back home "Yang mau muncak ntar bangun jam tiga yaaa..."  beberapa memili...

Pantai Kondang Merak

Curly surface from top of a hill Hampir genap setahun, kunjunganku ke Pantai Kondang Merak juga kulakukan pada tahun 2017, tepatnya pada tanggal 8 Maret (cuma postingan ini nih yang tanggalnya tercatat). Aku mengunjungi pantai—yang saat itu sedang sepi—dalam rangka menemani seorang 'kawan dekat' survei lapangan untuk penelitian tugas akhirnya. Nggak tau sih, beneran survei apa modus pengen ngajak jalan-jalan, wkwkwkwk . Great Barrier Reef ala Kondang Merak Berhubung bukan hari libur, pantai sangat sepi, bahkan hampir tidak ada pengunjung yang datang dalam waktu bersamaan. Untuk menuju Kondang Merak, kami tinggal mengikuti jalan ke arah Balekambang, lalu berpisah di sebuah perempatan. Keluar dari jalan raya, medan yang harus dilewati terhitung cukup sulit. Tanjakan-tanjakan berupa tanah berbatu mudah saja membuat pengendara sepeda motor kehilangan keseimbangan. Menurut wikipedia, saat kondisi jalan normal pengunjung bisa menempuh perjalanan dari perempatan ...