Langsung ke konten utama

Penjelajahan Vietnam Rose. Part 4: Self Guidance

Itu selembar peta yang saya dapat. Nah yang di pojok itu lembar jawaban ujian yang satu lembarnya segede buku gambar (A3). Nilainya memang memalukan, tapi bukankah angka tersebut tak sebanding dengan pelajaran hidup dari pengalaman?

Minggu, 6 Maret 2016, kami berencana menghabiskan waktu seharian untuk berjalan-jalan. Setelah mempelajari peta dan mendapat rekomendasi dari kawan setempat, kami memutuskan untuk mengunjungi tiga tempat penting, di antaranya Temple of Literature, St. Joseph Cathedral, dan Hoàn Kiếm Lake. Sebenarnya, kami juga menjadwalkan untuk mengunjungi masjid di pusat kota. Akan tetapi, berhubung waktu dan akses transportasi kurang memungkinkan, kami membatalkan kunjungan penting tersebut. Yang membuat iri, para kawan lelaki akhirnya berhasil mengunjungi masjid untuk Ibadah Shalat Jum'at. Menurut cerita, mereka juga menemukan kedai makanan halal di dekat masjid.

Tengoklah jalanan yang kami lalui, tempat-tempat yang kami kunjungi, berikut kode bus yang kami tumpangi. Setelah dibuka-buka lagi, saya bingung sendiri di lingkaran mana dulu saya tinggal.

Perjalanan satu hari itu kami lalui berbekal selembar peta, bondo nekat, dan tanpa kemampuan berbahasa yang memadai. Awalnya, seorang kawan Vietnam berniat menemani. Akan tetapi, dia memiliki pekerjaan sehingga kami harus pergi sendiri.

1. Temple of Literature (Kuil Sastra)

Setelah gerbang masuk

Kuil yang berdiri sejak tahun 1070 ini berfungsi sebagai tempat belajar. Kuil ini dikenal juga sebagai Imperial Academy, universitas nasional pertama di Vietnam. Para birokrat, keluarga kerajaan, juga para bangsawan pernah mengenyam ilmu di tempat ini. Terdiri atas lima bagian halaman (courtyard), kuil ini dibangun untuk menghormati atau memberi penghargaan pada Confucius.  Selain arsitektur candi dan ukiran tulisan, pengunjung juga bisa menemukan kolam yang disebut sebagai kolam surgawi. Informasi seputar kuil sastra bisa ditemukan di sini.

Di sini paling banyak dapet foto, ya memang di sini yang areanya paling luas, 'wahana'nya paling banyak.
Salah satu sisi tempat ibadah

Selain wisatawan asing, situs sejarah yang satu ini juga menjadi sarana belajar bagi siswa-siswi lokal. Pada kunjungan kami ke sana, banyak rombongan siswa Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar yang sedang melakukan karya wisata. Di antara tugas yang mereka dapat adalah bercakap-cakap dengan pendatang asing. Tentu mata pelajaran yang diampu dalam tugas ini adalah Bahasa Inggris. Berhubung wajah-wajah kami masih serupa dengan wajah mereka, sayalah yang dihampiri. Bukan karena wajah saya berbeda, melainkan karena penampilan saya yang tidak seperti pada umumnya (baca: pakai jilbab. :D) 

Berada dalam kerumunan dedek-dedek peserta karya wisata. Ah.... dapat stiker bintang ditempel di jilbab, sebagai tanda bahwa 'obyek' bertudung hijau ini sudah 'sold out' dan tidak boleh menjadi sasaran tim lawan.
Masih di Temple of Literature. Kelihatan kan, segimana jos literaturnya!




Harus mampir kalau ada kembang kuning-kuning.

2. St. Joseph Cathedral

Memajang foto depan gereja bukan berarti meng'iya'kan. Hal ini saya lakukan semata-mata karena menghargai dan mengagumi sejarah yang pernah ada, bahkan masih berlangsung hingga saat ini.

Disebut-sebut sebagai katedral tertua, tempat ibadah umat Katolik ini merupakan destinasi yang begitu populer. Bernuansa neo-Gothic, Katedral St. Joseph dibangun dengan pengaruh gaya Prancis. Menurut sejarah, katedral yang selalu ramai oleh wisatawan--di samping jemaat ibadah--dibangun pada abad 19 saat Prancis pertama kali menduduki Vietnam.

Sisi samping Katedral
Unfortunately, penulis yang hobi nyasar  ini sudah lupa bagaimana perjalanan menuju kemari. Sudah setahun berlalu. Kalau tak keliru, kami menumpang bus dari Temple of Literature menuju St. Joseph, kemudian berjalan kaki menuju Hoàn Kiếm Lake karena jaraknya berdekatan. Jadi maafkanlah, penulis tak mampu menyumbang referensi mengenai akses jalur. :'( But, penting untuk mempelajari rute yang tertera dalam peta karena jalur bus pulang tak selalu sama dengan jalur pergi. Halte yang digunakan pun bisa berbeda. Karena itu, untuk pulang melalui jalan yang benar tak cukup hanya dengan mengingat jalan berangkat. Kabar baiknya, tarif bus kota di sini tergolong murah, setidaknya sama seperti tarif angkutan kota di Indonesia yaitu sebesar 7.000 dong atau sekitar 4.700 rupiah.

3. Hoàn Kiếm Lake (Sword Lake atau Lake of the Returned Sword)

Itu pedangnya. Kalau nggak kelihatan mirip pedang, salah fotografernya.
Selanjutnya, kami lebih banyak bersantai dengan damai di tujuan terakhir kami, Hoàn Kiếm Lake yang diartikan sebagai Danau Pedang Terbalik. Danau ini sangat luas dan dikelilingi oleh bunga-bunga berwarna kuning. As always, aku tak ingin pergi ke tempat lain jika sudah dikelilingi oleh kembang-kembang kuning itu. Pada malam hari, danau ini tak kalah memikat berkat lampu-lampu cantik yang didekor mengiringi jalur pejalan kaki. Meski danaunya tak terlalu menarik perhatianku, pesonanya mempu menumbuhkan tekadku untuk mengunjungi tempat ini lagi. "Someday, I WILL come here again with 'the one' next in my side, holds my hand." (Eaaaaaaaak). Eh, eh, tapi itu beneran! I continuously spell that prayer. Semua itu karena aku tak pernah bisa melupakan suasana yang begitu manisnya.

The camera's capture will never be as beautiful as my eyes' capture.
Hanoi memiliki banyak danau, mulai yang besarrrrrr sampai yang biasa saja. Danau Pedang Kejungkel  (terbalik-Jawa) adalah danau paling populer. Legendanya, danau ini merupakan tempat pedang Thuan Thien dipulangkan oleh Kaisar  Lê Lợi pada Raja Naga (Long Vương) lewat kura-kura raksasa yang mangkal di danau tersebut.
Love this pict. Foto yang sempat viral (di kalangan kami saja) berkat keromantisan dua lelaki tanggung nan jenius itu.

Di tengah-tengah danau terdapat sebuah pagoda bernamaNgoc Son Temple atau Temple of the Jade Mountain. Untuk mencapai kuil cantik tersebut, pengunjung harus melewati jembatan merah yang tak kalah cantik. Jembatan merah? Kok jadi inget judul FTV! Hehe. Sayangnya, karena tak ingin menghabiskan lebih banyak nominal, kami memutuskan untuk memandanginya dari kejauhan saja. Sebenarnya, tarif yang dipatok untuk melewati Jembatan Merah tidak mahal, yaitu sebesar 30.000 Dong. Namun mengingat kami adalah mahasiswa tukang cari sponsor, kami merasa pengeluaran kami tak perlu ditambah lagi. Duitnya nanti buat beli kopi aja, kan banyak yang pesen. Eh tau-taunya pas pulang Kopi Vietnam bonus sianida lagi booming di tivi.

Ngoc Son Temple. Foto dari google.
Jembatan merah. Dari google juga, as a complement.


Selain destinasi-destinasi utama yang kami kunjungi, tentu kami menyempatkan diri untuk mampir di toko-toko lokal. Cara jual-beli yang begitu kental di Vietnam (atau mungkin di Hanoi) adalah dengan tawar-menawar. Tak jauh berbeda dengan metropolitan Indonesia, di tempat ramai kita pun harus selalu waspada terhadap copet dan pedagang keliling yang suka 'memaksa'.
Berburu souvenir. Ditawar....ditawaaaaaaar...!

Mengenai kulinernya, sungguh menyesal diri ini tak bisa membagikan apa-apa. Aku tak ingat nama masakan dan tak banyak mencicipi makanan khas setempat. Hal itu karena setiap makanan yang ingin dirasa selalu 'mencurigakan'. Yang ada malah makan kentang rebus tiap hari, sudah jelas aman dan thoyibnya. Namun ada satu makanan yang masih melekat di memori: Bánh mì. Penganan sejenis burger ini merupakan alternatif jitu untuk memenuhi kebutuhan lambung. Meski sederhana, roti lonjong berisi selada, telur, tomat, dan saos ini menjadi salah satu hidangan favorit.

Kedai Bánh mì. Ada bánh mì yang dijual khusus dalam satu kedai, ada pula yang bertebaran di kaki lima. Kami selalu membeli di pedagang kaki lima (bentuknya mirip pedagang bakpau keliling) seharga 10.000 sampai 15.000 Dong.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waduk Bajulmati, Pesona Eksotisme Jawa Timur

si Bajul yang tengah terlelap Hutan Baluran yang saat itu sedang terbakar :(, 13 September 2016 dilewati saat mengunjungi waduk dari arah Situbondo Pintu masuk Waduk Bajulmati, pengunjung disambut oleh patung penari khas Banyuwangi Belum banyak yang tahu mengenai waduk di timur Pulau Jawa ini. Diapit oleh Gunung Baluran dan Pegunungan Ijen, secara geografis waduk ini terletak di perbatasan Kabupaten Situbondo dan Banyuwangi. Dari arah Situbondo, pengunjung tinggal berkendara ke arah Timur (lalu serong sedikit ke arah Tenggara) sejauh 55 km mengikuti jalan utama Situbondo-Banyuwangi. Dari arah Banyuwangi, pengunjung bisa melalui jalan yang sama ke arah utara. Selain kendaraan pribadi, kita bisa menumpang bus jalur Situbondo-Banyuwangi.   Waduk anyar yang terletak di kawasan Alas Baluran mulai dibuka untuk umum tahun 2016. Masih tergolong baru saat saya menengok ke sana pada September 2016. Saat itu, kendaraan masih boleh masu...

Penjelajahan Vietnam Rose. Part 1: Terbang....

You only turn 21 once and it goes by very fast. Satu kalimat yang diutarakan oleh ibu Ben Campbell pada film "21" itu sangat menyihirku. Aku bukanlah orang yang percaya pada mitos ( percayanya sama fairytale malah, :D ), bukan juga anak manusia yang peduli pada sesuatu yang dinamakan "ulang tahun" ( peduli? inget aja enggak! ). Akan tetapi, awal tahun ini aku begitu was-was sekaligus tak sabar menantikan 21-ku. Benar saja. Di awal langkah 21-ku, aku menemui bermacam kisah spektakuler yang mengalahkan perjalanan Hogwarts ku. Salah satunya adalah perjalanan ini.

Air Terjun Talempong: Untouched

nyawah Melanjutkan perjalanan hari sebelumnya di dermaga , adikku mengajakku ke air terjun di kaki Gunung Argopuro. Hanya percaya sepenuhnya, aku tak mengira dan sama sekali tak membayangkan dimana letak air terjun ini. Melihat dia yang begitu enteng mengajak pergi sore-sore, aku mengira akan berkunjung ke tempat yang dekat-dekat saja. Ditambah lagi jawaban geje ( gak jelas) yang selalu dilontarkan saat ditanya, membuat perjalanan ini semakin tidak jelas saja. Memang dasar laki-laki baru gede yang semangat menjelajahnya tinggi, kami pergi tanpa persiapan apapun. Asri: Pemancangan Desa Talempong Kami melipiri pantura ke arah barat. Di tengah perjalanan, kami menjemput seorang kawan. Dia teman SMP adikku yang kini bersekolah di SMAku dulu. Saat mentari ashar sudah berjalan hampir separuhnya, kami melewati terminal dan alun-alun Besuki. Oh tidak, batinku. Ini jauh sekali . Kami masih berjalan terus ke barat hingga sampailah di SPBU Utama Raya, satu dari sejumlah S...