Langsung ke konten utama

Half Failed Escape: Coban Jahe

Semacam prolog.

Once upon an evening, pikiran ini rasanya sumpek gak ketulungan.  Ingin marah, melampiaskan segala sesak. Namun apa dayaku yang hanya sendiri tanpa korban untuk dimarahi. Ingin ku pergi barang sehari, meninggalkan hingar bingar dan kefanaan duniawi. (Waktu nulis kebayang-bayang Mbak BCL, "Ingin ku marah melampiaskan, tapi ku hanyalah sendiri di sini.")
 
Aktivitas warga: panen bengkuang.

Saking suntuknya, aku berniat (dengan tekad kuat tapi gak cukup kuat) escape. Kabur dari rutinitas. Mendekat pada hijaunya alam. Curhat pada Sang Pencipta Alam. Berhubung tidak menemukan destinasi yang mendukung, muncul hasrat kuat untuk mendaki Gunung (Bukit) Panderman. Kalau niat escape gausah nanggung-nanggung. Mau berduaan sama alam, sekalian aja muncak. Dengan track dan jalur yang pendek, Panderman adalah puncak yang aman untuk dijajaki seorang diri. 

Tak lupa mengenang makhluk kecil yang numpang hidup, sama seperti kita, manusia-manusia.

Ucap salam juga sama Mas Spider. Tapi yang ini kalau nyokot nggak bisa jadiin kita makhluk super.

Setelah bertanya-tanya keadaan dan situasinya, aku menguatkan mental. But the final was not as strong as the plan. Setelah dipikir berkali-kali, ternyata mentalku tidak cukup besar. Meskipun yang kutakuti sebenarnya bukan pendakiannya, melainkan perjalanan dari Malang ke Batunya, tetap saja aku tak berani. At the end, seseorang yang belakangan turut menyumbang halaman cerita menggeretku ke tempat yang lebih baik. Melipir pinggiran Kabupaten Malang menuju Timur, aku dibawa pada satu wana wisata alam yang masih belum tercolek modernisasi wahana wisata: Coban Jahe. Dalam perjalanan inilah rubrik "One Day Escape" menetas.

Coban Jahe sebelum diguyur hujan.

Tatap lebih tajam, dengarkan lebih seksama, Desau angin dan riak gelombang tak pernah bosan mendongengkan ceritera.

Air terjun setinggi 45 meter ini terasa sepi di tengah hari 25 November 2016. Awalnya, aku mereka-reka sisi mana dari coban ini yang bentuknya seperti jahe. Atau di sana terdapat kebun jahe yang telah hidup tujuh turunan? Atau hanya karena nama desa tempatnya bercokol adalah Kampung Jahe? Semua salah. Nama Jahe yang diadopsi dari kata "Pejahe" ternyata berarti meninggal dunia. Pas banget ya, hari itu Hari Jumat, kami mengunjungi pemakaman. Baru saat menuliskan kisah ini (di tengah malam pula), ingatanku teralih pada satu foto yang 'mencurigakan'. Manusia yang membawaku kemari bersikeras bahwa dalam foto yang kuambil (atau dia ambil) terlihat satu rupa wajah. Atau lebih mirip tengkorak? Sebenarnya aku sudah menyadari ilusi gambar itu sejak awal, cuma pura-pura nggak tau aja.

Ini foto yang 'mencurigakan' itu. Can you see it?

Ceritanya, di daerah coban yang sekarang masuk dalam kawasan perhutani Jabung itu, pernah terjadi perlawanan oleh regu Tentara Nasional Indonesia di bawah komando Ali Murtopo terhadap pemerintah Belanda. Jasad mereka dikebumikan di Makam Pahlawan Kali Jahe yang bisa ditemukan sebelum pintu masuk Coban Jahe. (Karena memotret sambil jalan, gambar area pemakaman yang tertangkap tidak pas. Karenanya, gambar tersebut tidak bisa ditunjukkan). Seiring waktu, nama "Pejahe" lebih akrab disebut "Jahe".

Lumpur pegunungan terseret arus selepas hujan.
Deras. Siapapun tak ingin jatuh tergulung sapuan air.

Coklut. Arus yang tadi memenangkan kini menjadi seram setelah ditangisi awan.

Akses jalan menuju tempat ini cukup sulit. Coban yang mengalir deras di wilayah Dusun Begawan ini bisa ditempuh lewat jalan berbatu yang licin. Di sepanjang jalan terdapat kebun-kebun dan persawahan. Tidak banyak pengunjung yang berekreasi di Coban Jahe. Hari itu saja, hanya satu-dua pasang dan satu rombongan keluarga yang kami temui. Pos atau loket saja belum ada. (Eh tapi tetap ada penjaganya yang narikin karcis). Hanya ada lahan luas tempat parkir dan berkemah.  Sebenarnya, di sana juga terdapat obyek river tubing, mungkin hanya beroperasi di hari tertentu. Berkat suasana rindang dan sepinya, coban ini bisa menjadi solusi escape yang jitu. :D

Watch out your footsteps! It's forbidden to leave a trace.





Last thing to say, don't forget to see the beautiful gifts.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jernih dan Hitam antara Kabut dan Merah Jambu #2-tamat

Semalam, aku tertidur di awan kelabu. Aku terus berpikir bagaimana jika aku terjatuh padahal aku ingin melihat pelangi. Lalu degup jantungku mengatakan sesuatu. “Tenang gadisku. Kalau kau terjatuh, kau akan terjatuh bersama-sama.”  Benar juga. Sama sekali tak masalah buatku. Tapi aku takut. Bagaimana jika aku terjatuh sebelum sempat menyentuhnya? Bagaimana? Kabut perlahan menipis. Kilau perlahan bercahaya. Apakah ini serangan fajar? Namun warna merah jambu belum memudar. Aku benar-benar tak tahu yang akan terjadi. Aku tak mampu berangan-angan lagi. Tapi kabut perlahan menipis. Aku harus segera bergerak kecuali ingin dihempas angin jahat. Aku mencoba mencari celah.

Bonek Hikers. Part 4: Akhir Cerita Kita

The most favourite spot. Couldn't find a more beautiful yellow flowery field.... Setelah pikiran yang blingsatan ke mana-mana. Setelah keresahan yang mengubun-ubun. Selepas keputusasaan yang nyaris memuncak. PADANG SAVANA....... " Subhanallah......" "Allahu Akbar!" Kami semua jatuh terduduk. Sungguh luar biasa. Rasanya seperti surgaaaaa. Sekitar satu jam sebelum tengah malam kami sampai di padang luas tempat bermalam. Kami duduk sejenak, ingin bergulung-gulung di sana. Di padang inilah para pendaki biasa bermalam. Untuk menuju puncak, perjalanan hanya tinggal satu jam lagi. "Ayo semangat. Tambah sedikit lagi jalannya, kita mendekat ke tenda-tenda lain."  kami pun beranjak. Para calon tetangga membantu mendirikan tenda. Tanpa mengkhawatirkan makan malam, kami langsung menata diri untuk shalat dan beristirahat. Say Hi! Coming back home "Yang mau muncak ntar bangun jam tiga yaaa..."  beberapa memili...

Pantai Kondang Merak

Curly surface from top of a hill Hampir genap setahun, kunjunganku ke Pantai Kondang Merak juga kulakukan pada tahun 2017, tepatnya pada tanggal 8 Maret (cuma postingan ini nih yang tanggalnya tercatat). Aku mengunjungi pantai—yang saat itu sedang sepi—dalam rangka menemani seorang 'kawan dekat' survei lapangan untuk penelitian tugas akhirnya. Nggak tau sih, beneran survei apa modus pengen ngajak jalan-jalan, wkwkwkwk . Great Barrier Reef ala Kondang Merak Berhubung bukan hari libur, pantai sangat sepi, bahkan hampir tidak ada pengunjung yang datang dalam waktu bersamaan. Untuk menuju Kondang Merak, kami tinggal mengikuti jalan ke arah Balekambang, lalu berpisah di sebuah perempatan. Keluar dari jalan raya, medan yang harus dilewati terhitung cukup sulit. Tanjakan-tanjakan berupa tanah berbatu mudah saja membuat pengendara sepeda motor kehilangan keseimbangan. Menurut wikipedia, saat kondisi jalan normal pengunjung bisa menempuh perjalanan dari perempatan ...