29 Februari 2016.
Clap...clap...clap
Clap...clap...clap
Grrrrrtrrrrtt....
Andai dalam film, adegan pertama ini menampakkan seseorang sedang berjalan di sela-sela keramaian bandara. Lensa kamera mengikuti dua bilah celana panjang bersepatu dan sekotak koper yang terseret-seret. Adegan diakhiri dengan duduknya pemilik celana dan sepatu tadi sehingga penonton bisa melihat sosoknya, dari belakang. Kemudian fokus kamera beralih pada segerombol kecil pemuda tak jauh di depan sosok tadi.
__________
Pemeran utama yang tadi hanya terlihat kaki bercelana panjangnya masih bertahan duduk manis di tempatnya. Badan ditegap-tegapkan demi melawan lelah dan kantuk yang tanpa ampun menyerang. "Ah.... siapa mereka?" pikirnya. Perhatiannya tertuju pada segerombol kecil pemuda tadi. "Muka-muka Indonesia," gumamnya. Disadarinya, ketiga laki-laki dan satu perempuan dengan wajah serumpun itu juga memperhatikannya, dan membicarakannya.
Wajah-wajah Indonesia, model-model mahasiswa, tujuan Kota Hanoi. Pastilah duduk di sini karena alasan yang sama. Terbersit keinginan untuk menghampiri mereka. Berkenalan, mungkin? Tapi kepala berjilbab biru itu terasa berat. Ah, mager (males gerak), capek, ngantuk, kusut, jelek lagi. Nanti sajalah. Kalau memang tujuan kita sama, nanti juga akan kenal. Lalu berlalulah momen pertama itu hingga mereka terpisah oleh seat dalam kabin dan sang tokoh menikmati perjalanan setengah sadarnya yang dikelilingi oleh pemandangan luar biasa yang telah diungkapkan pada cerita sebelumnya. Sampai burung besi ini mendarat, mereka berpapasan lagi. Sang tokoh memperlambat jalannya, mencari kesempatan untuk berjalan beriringan dan menegur sapa. Akan tetapi, sampai akhir perjalanan dalam bandara ini, mereka tak kunjung bertemu.
__________
Aku lupa menceritakan ini pada catatan sebelumnya. Setiap negara tak mungkin menerima pendatang asing serupa tamu jauh yang bersilaturahmi membawa oleh-oleh. Bagi pengunjung biasa sepertimu, durasi berkunjungmu dibatasi. Perlu diketahui, sesama negara ASEAN sudah berkawan akrab sehingga warga negara tetangga tidak perlu mengurus visa untuk menginjakkan kaki di tanah tetangga ASEANnya. Meski begitu, perkawanan ini bukan tanpa batas. Visa yang kau miliki adalah visa on arrival yang akan kau dapat saat kau sampai di rumah tetanggamu itu. Tak perlu bingung, kau tinggal mengikuti alur dan prosedur keluar bandara dan di sana, kau akan melewati loket imigrasi. Dengan visa jenis ini, kau harus angkat kaki sebelum masa berkunjungmu habis. Setiap negara memiliki ketentuan masing-masing. Ada yang 30 hari, 20 hari, mungkin juga hanya 15 hari. Silahkan cek sendiri di web imigrasi atau konsulat jenderal masing-masing.
![]() |
Melangkah tanpa lengah. Menjejak tanpa gundah. |
Selain memasukkan datamu pada database, petugas imigrasi juga harus diyakinkan bahwa kamu akan 'pulang' sebelum jatuh tempomu. Caranya? Kau harus menunjukkan tiket perjalananmu keluar dari negara itu. Ada satu cerita dari kawan sesama peserta. Dia belum memiliki tiket pulang karena berencana melanjutkan perjalanannya ke Taiwan dan rencana itu belum matang. Alhasil, dia harus membeli tiket saat itu juga untuk menunjukkan bahwa dia akan pergi dari negara ini sebelum izin tinggalnya kadaluwarsa. Karena belum pasti waktu dan tujuannya, dia pesan saja tiket apapun yang termurah. -> Third lesson of the trip.
"Coba kalau itu aku. Apa jadinya? Ponsel tidak mampu menyahut wifi. Kartu kredit tak punya. Syukur-syukur ATM bisa digunakan."
__________
Berbeda dengan masyarakat Indonesia yang gemar menjamu dan menyambut tamu, di sini aku merasa dicul alias dilepas. Sesampainya di penginapan, kami hanya diberitahu pembagian kamar. Selebihnya kami harus berpetualang sendiri. Berhubung gadis cantik bernama Ericha (yang sebelumnya harus memesan tiket dadakan) telah sampai sehari lebih awal, dia menjadi guide bagi kawan-kawannya. Hari itu, kami berkeliling mencari makan dan membeli air minum. Percobaan pertama terhitung gagal. Kami tidak mendapatkan makanan 'normal' di kafe yang direkomendasikan oleh panitia SEAMS School. Beruntung, tak jauh dari sana kami menemukan kedai ayam cepat saji yang juga tersebar di Indonesia. Di tempat itulah sumber nasi sehari-hari kami dapat.
"Kemarin aku mau beli nasi dikasih beras!" cerita Ericha mengundang gelak tawa.
Entah sudah berapa kali keluyuran sendiri, gadis Medan ini sudah banyak beradaptasi. Dari penginapan kecil dan sepi (juga gelap) dalam gang samping Defense Academy (sebuah sekolah tinggi kemiliteran), Ericha mengantar kami membeli air minum di warung kecil sekitar penginapan. Dengan bahasa isyarat yang dingotot=ngototkan, dia juga berhasil mendapatkan password wifi dari petugas penginapan. Belakangan, password itu diubah dan sang petugas tidak mau mengakuinya.
Omong-omong soal petugas penginapan, orang ini adalah tokoh paling tak terlupakan selama perjalanan singkat kami di sana. Suatu hari, kami ingin mencari laundry. Karena kesulitan berkomunikasi, kami meminta bantuan kawan asli Hanoi. Saat bercakap-cakap dengannya, sang petugas muncul. Singkat cerita, dia menawarkan bantuan untuk mengantarkan cucian ke suatu laundry.
"How should we pay the laundries?" tentu kami tak tahu pasti apakah jasa laundry di Hanoi harus dibayar di awal atau akhir, dan apakah kami perlu menitipkan uang dahulu atau menunggu nota tagihan.
"Oh no, no! It's okay. Zero! Zero!" ungkap sang petugas sangat meyakinkan, namun membuat kami melongo.
"He can help you. You don't need to pay." kata teman kami menjelaskan.
"Oh, really? Thankyou.....!" ujar kami sumringah. FYI, informasi yang kudapat yaitu ongkos cuci sepotong pakaian (seperti jilbab segiempat) adalah sekitar dua puluh lima ribu rupiah. Lumayan ya? Nyuci di Indo udah dapet berapa kilo cucian itu!
Lalu kami pun menyerahkan pakaian yang sudah terpilah-pilah dan terbungkus rapi dalam kantong plastik. Besoknya..........
"WHAAAATTTT???!" HUAHAAAAHAAAAA. Meledaklah gelegar tawa di lantai tujuh Defense Academy's Guest House sore itu. Pakaian-pakaian 'bersih' kami tergeletak acak-acakan di depan pintu kamar. Beginikah cara pakaian-pakaian itu pulang dari laundryan?
"HAHAHAHAAAA........" tak satupun dari kami mampu menghentikan lelucon itu hingga kawan-kawan penghuni lantai enam ikut naik untuk menyaksikan fenomena 'ajaib' ini. Cucian kami dibeber di lantai depan pintu, campur aduk jadi satu. Wangi memang, tapi wajahnya minta ampun. Kusut gak ketulungan. Terlantar tanpa dosa.
"Pantes aja gak mau dibayar. Zero! Zero! Ah, dasar....!" karena kejadian itu kami memanggil Pak petugas dengan sebutan Mister Zero. Mantep kali sebut 'zero'nya... (sayang sekali bukti foto penampakan hasil laundryan ikut terhapus). Belakangan aku menyimpulkan bahwa Mister Zero mencuci pakaian kami sendiri. Ajaibnya lagi, setelah beliau mengetahui bahwa kami menyadari eksistensi mesin cuci dan menggunakannya, beliau segera memutus aliran listrik menuju mesin cuci. Ini merupakan asumsi pribadiku, tapi rasanya memang disengaja mengingat kejadian wifi juga disengaja. Tak apa, dibuat hepi aja.
__________
Kamera menangkap gambar sekumpulan anak muda dari luar jendela. Kebersamaan mereka tertangkap begitu kental, bersatu dari beberapa suku, bersama bertahan hidup di negeri asing. Saat malam tiba, mereka tertawa bersama dalam satu kamar. Entah makan malam, belajar bersama, atau sekadar bermain kartu dan memonton film (tentu saat ujian sudah berlalu). Lelah belajar, mereka akan kembali ke kamar masing-masing dan bersiap menantang pelajaran sekaligus pengalaman esok pagi. Kamera menjauh, bergeser hingga menampakkan gugusan pulau nusantara. So, hoan nghênh! Selamat datang...
__________
__________
![]() |
About last days... |
Berbeda dengan masyarakat Indonesia yang gemar menjamu dan menyambut tamu, di sini aku merasa dicul alias dilepas. Sesampainya di penginapan, kami hanya diberitahu pembagian kamar. Selebihnya kami harus berpetualang sendiri. Berhubung gadis cantik bernama Ericha (yang sebelumnya harus memesan tiket dadakan) telah sampai sehari lebih awal, dia menjadi guide bagi kawan-kawannya. Hari itu, kami berkeliling mencari makan dan membeli air minum. Percobaan pertama terhitung gagal. Kami tidak mendapatkan makanan 'normal' di kafe yang direkomendasikan oleh panitia SEAMS School. Beruntung, tak jauh dari sana kami menemukan kedai ayam cepat saji yang juga tersebar di Indonesia. Di tempat itulah sumber nasi sehari-hari kami dapat.
"Kemarin aku mau beli nasi dikasih beras!" cerita Ericha mengundang gelak tawa.
Entah sudah berapa kali keluyuran sendiri, gadis Medan ini sudah banyak beradaptasi. Dari penginapan kecil dan sepi (juga gelap) dalam gang samping Defense Academy (sebuah sekolah tinggi kemiliteran), Ericha mengantar kami membeli air minum di warung kecil sekitar penginapan. Dengan bahasa isyarat yang dingotot=ngototkan, dia juga berhasil mendapatkan password wifi dari petugas penginapan. Belakangan, password itu diubah dan sang petugas tidak mau mengakuinya.
![]() |
Jas almamater Universitas Brawijaya Malang di depan Vietnam Academy of Science and Technology. :) |
Omong-omong soal petugas penginapan, orang ini adalah tokoh paling tak terlupakan selama perjalanan singkat kami di sana. Suatu hari, kami ingin mencari laundry. Karena kesulitan berkomunikasi, kami meminta bantuan kawan asli Hanoi. Saat bercakap-cakap dengannya, sang petugas muncul. Singkat cerita, dia menawarkan bantuan untuk mengantarkan cucian ke suatu laundry.
"How should we pay the laundries?" tentu kami tak tahu pasti apakah jasa laundry di Hanoi harus dibayar di awal atau akhir, dan apakah kami perlu menitipkan uang dahulu atau menunggu nota tagihan.
"Oh no, no! It's okay. Zero! Zero!" ungkap sang petugas sangat meyakinkan, namun membuat kami melongo.
"He can help you. You don't need to pay." kata teman kami menjelaskan.
"Oh, really? Thankyou.....!" ujar kami sumringah. FYI, informasi yang kudapat yaitu ongkos cuci sepotong pakaian (seperti jilbab segiempat) adalah sekitar dua puluh lima ribu rupiah. Lumayan ya? Nyuci di Indo udah dapet berapa kilo cucian itu!
Lalu kami pun menyerahkan pakaian yang sudah terpilah-pilah dan terbungkus rapi dalam kantong plastik. Besoknya..........
"WHAAAATTTT???!" HUAHAAAAHAAAAA. Meledaklah gelegar tawa di lantai tujuh Defense Academy's Guest House sore itu. Pakaian-pakaian 'bersih' kami tergeletak acak-acakan di depan pintu kamar. Beginikah cara pakaian-pakaian itu pulang dari laundryan?
"HAHAHAHAAAA........" tak satupun dari kami mampu menghentikan lelucon itu hingga kawan-kawan penghuni lantai enam ikut naik untuk menyaksikan fenomena 'ajaib' ini. Cucian kami dibeber di lantai depan pintu, campur aduk jadi satu. Wangi memang, tapi wajahnya minta ampun. Kusut gak ketulungan. Terlantar tanpa dosa.
"Pantes aja gak mau dibayar. Zero! Zero! Ah, dasar....!" karena kejadian itu kami memanggil Pak petugas dengan sebutan Mister Zero. Mantep kali sebut 'zero'nya... (sayang sekali bukti foto penampakan hasil laundryan ikut terhapus). Belakangan aku menyimpulkan bahwa Mister Zero mencuci pakaian kami sendiri. Ajaibnya lagi, setelah beliau mengetahui bahwa kami menyadari eksistensi mesin cuci dan menggunakannya, beliau segera memutus aliran listrik menuju mesin cuci. Ini merupakan asumsi pribadiku, tapi rasanya memang disengaja mengingat kejadian wifi juga disengaja. Tak apa, dibuat hepi aja.
Selain lalu lintas yang kacau, Vietnam juga terkenal dengan kabel-kabel ruwetnya. |
Kamera menangkap gambar sekumpulan anak muda dari luar jendela. Kebersamaan mereka tertangkap begitu kental, bersatu dari beberapa suku, bersama bertahan hidup di negeri asing. Saat malam tiba, mereka tertawa bersama dalam satu kamar. Entah makan malam, belajar bersama, atau sekadar bermain kartu dan memonton film (tentu saat ujian sudah berlalu). Lelah belajar, mereka akan kembali ke kamar masing-masing dan bersiap menantang pelajaran sekaligus pengalaman esok pagi. Kamera menjauh, bergeser hingga menampakkan gugusan pulau nusantara. So, hoan nghênh! Selamat datang...
__________
Komentar
Posting Komentar