Sebelumnya, kami sempat berunding.
"Ayo, mas, mbak, barengan."
Akhirnya, kami bergabung dengan ketiga orang itu. Ternyata, tujuan mereka adalah puncak Panderman, bukan puncak Butak. Sampai di persimpangan, kami kembali harus memutuskan.
"Ya udah, yuk lanjut sendiri aja."
"Ayo, mas, mbak, barengan."
Akhirnya, kami bergabung dengan ketiga orang itu. Ternyata, tujuan mereka adalah puncak Panderman, bukan puncak Butak. Sampai di persimpangan, kami kembali harus memutuskan.
"Ya udah, yuk lanjut sendiri aja."
Keputusan kami tidak berubah. Rencana awal harus sukses dieksekusi. Dengan mengucap Bismillah kami berpisah dengan rombongan tadi dan langsung melanjutkan perjalanan.
"Ada petunjuk jalannya kok." ujar pemimpin barisan. Syukurlah, sepanjang jalur banyak tanda-tanda berupa pita yang diikat di pepohonan atau ranting-ranting.
"Ada petunjuk jalannya kok." ujar pemimpin barisan. Syukurlah, sepanjang jalur banyak tanda-tanda berupa pita yang diikat di pepohonan atau ranting-ranting.
Beautiful scenery, isn't it? |
Selama kurang-lebih 5 jam pendakian, kami sampai di ruang yang agak lapang. Ada satu tenda berdiri di sana. Ada juga beberapa rombongan lain yang singgah. Di tempat itu pula kami menggelar tikar, mencari sisa-sisa air hujan di sela dedaunan untuk berwudhu, lalu shalat dan makan siang. Sampai di sini, belum ada track yang terlalu istimewa. Jalan bebatuan, reruntuhan pohon tumbang, lorong di antara hutan-hutan, lalu guyuran hujan tepat di jalur yang paling curam. Biasa bukan?
Ada satu kesulitan yang teman kami alami. Saat hujan deras di tanjakan super curam itu, satu kawan kami harus mendaki dengan ransel di punggung plus tenda yang dicangklong di depan tubuhnya, ditambah lagi dengan jas hujan model ponco atau kelelawar yang tentu amat menyulitkan. Dengan keadaan seperti itu, dia tidak bisa merangkak. Jas hujan yang nglengsreh pun sangat berpotensi untuk nyrimpet. Aku cukup merasa bersalah dan takut karena meminjamkan jas hujan itu, tapi kondisi ini pun tidak memungkinkan kami untuk bertukar jas. Apa daya pula, tak ada yang sanggup menggantikan beban akhwat tangguh yang satu ini. Beruntung, pendaki lain yang sedang turun memberi jalan dan membantu kami menanjak.
Ada satu kesulitan yang teman kami alami. Saat hujan deras di tanjakan super curam itu, satu kawan kami harus mendaki dengan ransel di punggung plus tenda yang dicangklong di depan tubuhnya, ditambah lagi dengan jas hujan model ponco atau kelelawar yang tentu amat menyulitkan. Dengan keadaan seperti itu, dia tidak bisa merangkak. Jas hujan yang nglengsreh pun sangat berpotensi untuk nyrimpet. Aku cukup merasa bersalah dan takut karena meminjamkan jas hujan itu, tapi kondisi ini pun tidak memungkinkan kami untuk bertukar jas. Apa daya pula, tak ada yang sanggup menggantikan beban akhwat tangguh yang satu ini. Beruntung, pendaki lain yang sedang turun memberi jalan dan membantu kami menanjak.
Tiga wanita pejuang |
Masih biasa. Kami masih menikmati perjalanan ini tanpa beban. Kami masih bisa makan siang dengan riang. (Jadi ceritanya kami sama-sama bawa nasi bungkus buat makan siang pertama. Eh ternyata yang cowok-cowok malah sempat masak bareng. Malah, makanan mereka disatuin di satu kotak makan, terus suap-suapan deh. Hmmmmm.... so suwitnyaaaa.....)
Lalu tiba-tiba...... ada yang menyapa....
"Anak mat ya mbak?"
Lalu tiba-tiba...... ada yang menyapa....
"Anak mat ya mbak?"
"Lho, kok tau mas?" jawab salah seorang dari kami.
"Ya iyalah, plis deh. Jaket mu itu lhoooo bawa identitas banget!" ujar salah seorang dari kami yang lain.
"Oh iyaaa. Hahaha."
"Ya iyalah, plis deh. Jaket mu itu lhoooo bawa identitas banget!" ujar salah seorang dari kami yang lain.
"Oh iyaaa. Hahaha."
Jadi, empat dari kami tengah mengenakan jaket almamater matematika Universitas Brawijaya. Lambang dan tulisannya terpampang jelas untuk dikenali. (Sebenarnya meski tulisannya ketutupan pun, kalo diliat sama anak sekitar mat UB, pasti udah ketauan banget deh kalo kita anak mat. Haha)
Lalu mulailah bullyan-bullyan kecil di antara kami.
"Eh dasar lu. Ngapain juga ke gunung masih bawa identitas. Keliatan banget tau!"
"Iya nih. Segitu bangganya ya sama almamater.. Atau gak punya jaket lain?"
"Nah kamu juga, ngapain nyama-nyamain gitu?!! Cie.... kita couple-an nih..."
"Ih nggak ada niat ya. Ini mah sekalian kotor aja, mumpung ni jaket yang udah di luar lemari."
"Iya eh sama. Sekalian kotor sekalian dicuci. Apalagi ini yang kedap air juga."
Hahahaha. Dhuaaar!
"Nah kamu juga, ngapain nyama-nyamain gitu?!! Cie.... kita couple-an nih..."
"Ih nggak ada niat ya. Ini mah sekalian kotor aja, mumpung ni jaket yang udah di luar lemari."
"Iya eh sama. Sekalian kotor sekalian dicuci. Apalagi ini yang kedap air juga."
Hahahaha. Dhuaaar!
"Saya anak fisika mbak." mas-mas tadi menimpali.
"Oooooooh, pantesaaaaaan." kami jadi bersahut-sahutan. Dhuar lagi.
"Angkatan berapa mas? Serombongan fisika semua? Berapa orang?......." bla...bla...bla... dst dst. Basa-basi berlanjut sampai rombongan mas itu berangkat duluan.
Nyamm...nyamm.... (Nah, yang hitam-kuning itu jaket jurusan mat. Dan yang merah marun--termasuk yang cuma keliatan tangannya--itu jaket prodi mat '13. Salam kenal...) |
Tap tap tap. Kami sungguh tak banyak bicara saat berjalan. Tidak juga heboh oleh pemandangan. Semua itu karena para amatir itu membutuhkan tenaga dan konsentrasi berlebih dibanding pendaki-pendaki pada umumnya. Pembicaraan kami selalu sebatas "Awas kayu", "Awas batu", "Mepet kiri yaa", atau "Jam berapa Di? (karena yang mengenakan jam tangan adalah yang dipanggil 'Di' ini)".
Di suatu titik koordinat, kami bertemu empat orang fisikawan tadi. Mereka sedang santai menyantap bekal makan siang.
"Lho... masnya lagi. Duluan ya mas...." sapa kami.
Padahal, tak lama lagi mereka akan menyalip rombongan kami.
Sraaaap. (Kalo di adegan film ini scenenya matahari turun di fast-forward, burung-burung berkicauan pulang ke rumah, aliran air muara mulai tenang, terus gelap).
"Udah maghrib ni ya. Isya nyampe nggak ya?"
Kata orang, pendakian normal biasa menempuh waktu tujuh sampai delapan jam. Perkiraanku, kami bisa sampai di padang savana--tempat nge-camp--dalam waktu sepuluh jam. Sehingga jika kami berangkat mendaki pukul 9 pagi, kami akan sampai pukul 7 malam atau setidaknya pukul 8. Gelap kian pekat saat langkah semakin terseok-seok. Jauh dari pukul 7, kami mencari penghiburan masing-masing untuk menenangkan diri. Tak ada tanda-tanda kehidupan selain pohon yang menjulang-julang. Aaah... jangankan puncak atau padang savana. Tanah lapang barang sejengkal pun rasanya bahagia. Aku rasa kami telah sampai di pos yang paling membahana. Aku menyebutnya Pos Frustasi.
________
Komentar
Posting Komentar